Sumselterkini.co.id, – Kalau biasanya yang teriak-teriak di pinggir lapangan itu bapak-bapak berbaju training dengan peluit di leher dan sandal jepit di kaki, kali ini anginnya berembus lain, dari Bali, tepatnya di markas latihan Bali United, berkumpullah 48 wanita dari berbagai penjuru negeri, bukan buat arisan atau demo skincare baru, tapi buat belajar ngelatih sepak bola secara serius, bukan main!
Coach Education Scholarship (Group) D Licence resmi digelar untuk pertama kalinya di Indonesia, dan yang bikin netizen harus angkat topi (walau virtual), Indonesia jadi negara pertama di dunia yang berhasil menjalankan program ini setelah FIFA Women’s Football Programme diluncurkan Desember 2024. Artinya, baru lima bulan usia program itu, kita sudah duluan tancap gas, seperti pepatah Jawa “Sing sapa tangi luwih dhisik, mlebu dhisik goleki soto”.
Dan bukan main-main, pelatihan ini bukan sekadar workshop ngisi absen dan makan snack. Para peserta ini dilatih bukan cuma buat ngerti formasi 4-4-2, tapi juga supaya bisa jadi pemimpin dan panutan di komunitasnya.
Coach Vivin Cahyani Sungkono, Ketua Komite Sepak Bola Wanita PSSI, menyebut program ini sebagai investasi jangka panjang. Ya, kayak tanam cabai, tapi hasilnya bisa bikin main di Piala Dunia, bukan cuma sambal. “Kami ingin membentuk pelatih wanita yang tak hanya andal di lapangan, tetapi juga mampu menjadi pemimpin di komunitas mereka,” kata Coach Vivin.
“Melalui investasi terstruktur pada pelatih wanita, target Piala Dunia 2031 itu bukan lagi mimpi siang bolong.”
Cita-cita ini bukan kosong-kosong amat. FIFA-GIZ Women Empowerment Programme di Surabaya sebelumnya sukses meluluskan 25 pelatih wanita bersertifikat. Sekarang dilanjut ke Bali. Siapa tahu besok lusa ke Bima atau Binjai. Kalau peserta punya potensi tinggi, bisa lanjut ke lisensi C. Naik level, Bu! Dari peluit plastik ke peluit emas!
Dan yang bikin adem hati, program ini digelar di Bali United Training Center. Pieter Tanuri dan Yabes Tanuri, dua bos besar Bali United, seperti bapak kos yang baik hati, menyediakan tempat dan dukungan penuh buat para pelatih wanita ini. Kata mereka, sepak bola itu bukan cuma soal skor, tapi soal kesempatan.
Ya, kesempatan untuk emak-emak bisa berdiri sejajar di pinggir lapangan, teriak sambil garuk kepala, “Mainmu itu lho, kenapa malah ke kanan terus!”.
Kalau ada yang masih meragukan kemampuan wanita di dunia sepak bola, coba lihat ke luar negeri, di Prancis, Stéphanie Frappart sudah pernah jadi wasit utama di Piala Dunia Pria.
Di Jerman, Bibiana Steinhaus juga punya lisensi memimpin Bundesliga dan mereka tuh galaknya bukan main. Sekali semprit, pemain langsung mingkem bahkan pemain yang dulunya suka ngeyel sama wasit pria, kalau sama wasit wanita malah nurut. Mungkin karena takut dosa.
Bahkan di Jepang, ada pelatih wanita yang memimpin tim laki-laki level semi-pro. Di Brasil, ada akademi sepak bola khusus cewek yang dipimpin bekas striker nasional. Jadi, kalau ada yang masih nyinyir soal “cewek ngapain sih ngelatih bola?”, ya mari kita jawab dengan satu kata aja “Maju!”.
Sepak bola bukan soal gender, tapi soal semangat. Kalau dulu perempuan dianggap hanya penonton setia sinetron sambil goreng tempe, sekarang mereka sudah pegang clipboard, pakai training, dan bisa bilang, “Mainkan bola, bukan perasaan!”
Bali menjadi saksi sejarah, ketika para wanita Indonesia belajar jadi pelatih, bukan cuma buat tim nasional masa depan, tapi juga buat desa, kota, dan komunitasnya, karena sepak bola bukan dimulai dari stadion besar, tapi dari lapangan tanah, dari semangat, dan dari peluit pertama yang ditiup oleh siapa saja, termasuk wanita.
Jadi, siapa tahu 2031 nanti, kita bukan cuma nonton Piala Dunia Wanita dari televisi. Tapi kita bisa bilang, “Itu loh, coach-nya dulunya belajar di Bali, ngopi bareng saya dulu!”
Karena di sepak bola modern
Yang pegang strategi, bisa siapa aja.
Yang bawa semangat, bisa dari mana aja.
Dan yang tiup peluit, bisa dari tangan yang juga lihai ngaduk kolak.[***]