Sumselterkini.co.id, – Di mana bumi dipijak, di situ tarif masuk dimusyawarahkan!
Begitulah kira-kira falsafah baru yang sedang diracik di Ratenggaro, NTT kampung adat yang sempat viral bukan karena eksotika atap rumah menjulang atau kuda-kuda yang berlarian seperti di film koboi, tapi karena kejadian “ngetok harga” yang bikin wisatawan mendadak ingin jadi burung terbang pulang.
Tapi sabar dulu, jangan buru-buru menyeberang ke destinasi lain. Ratenggaro dan NTT sekarang sedang berbenah, seperti anak kos yang habis diputusin pacar lalu mendadak rajin mandi.
Wamenpar Ni Luh Puspa pun langsung pasang jurus zoom meeting bukan untuk pesen tiket ke Sumba, tapi untuk nyetel kompas moral semua stakeholder pariwisata dari pejabat sampai tetua adat.
“Pariwisata itu kayak sambal pedasnya boleh, asal jangan bikin sakit perut!” ujar Wamenpar sambil menegaskan pungli adalah noda di kain tenun indah pariwisata Indonesia. Dan apalagi di NTT, yang sekarang sedang naik daun, naik pesawat, bahkan naik reels Instagram para travel vlogger.
Kehebohan ini bermula dari aksi Youtuber “Jajago Keliling Indonesia” yang bukan hanya keliling, tapi juga kena ‘tilang adat’ ala oknum tak bertanggung jawab di Kampung Ratenggaro. Bukan karena dia tak bawa helm, tapi karena kamera dan tampang turisnya dianggap ATM berjalan.
Namun, tak selamanya awan mendung tak membawa pelangi. Pemkab Sumba Barat Daya bersama Forkopimda langsung gaspol mereka kumpulkan kades, Danramil, Polsek, dan tetua adat. Hasilnya? Komitmen manis bagai madu hutan pungli harus minggat, destinasi harus bersahabat.
Bahkan, dalam gaya gotong royong ala kampung, masyarakat sepakat bikin papan tarif resmi. Jadi, wisatawan tahu kapan harus bayar, berapa harus bayar, dan tidak takut tiba-tiba diminta ‘uang foto’ oleh si Budi atau ‘uang sandal’ oleh si Doni. Semua dibikin transparan seperti kaca spion.
“Pariwisata itu bukan ajang gelut, tapi ladang berkah,” kata Bupati Ratu Ngadu Bonu Wulla, sambil menyampaikan maaf yang tulus dan hangat, seperti sop ikan kuah asam khas Sumba.
Kemenpar pun tak tinggal diam. Mereka sodorkan pelatihan SDM, penguatan kapasitas, dan pelajaran ‘sadar wisata’ yang bukan cuma soal jualan tiket, tapi juga cara senyum yang tidak bikin turis trauma. Pendekatannya pun dua edukatif dan preventif karena mencegah lebih baik daripada viral.
Masyarakat juga diberi pencerahan bahwa memberi uang ke anak-anak di lokasi wisata tanpa koordinasi itu seperti menanam pohon di aspal niatnya baik, tapi salah tempat. Makanya, bantuan mesti terorganisir, lewat desa atau komunitas, bukan langsung disodorin ke bocah yang lagi main layangan.
Kata pepatah, “Rusak susu sebelanga karena nila setitik.” Tapi sekarang, Ratenggaro lagi ngaduk susu barunya segar, bersih, dan siap diseruput wisatawan tanpa rasa khawatir. Kearifan lokal tetap jadi bumbu utama, tapi dibungkus dengan manajemen modern dan tata kelola yang rapi.
Dengan kolaborasi Kemenpar, Pemprov, Pemkab, hingga masyarakat akar rumput yang mulai sadar bahwa turis bukan sapi perah, tapi tamu yang harus dijamu dengan manis, harapan akan pariwisata berkualitas makin terbuka lebar.
Ratenggaro bukan hanya belajar dari kesalahan, tapi sedang membuat resep baru untuk wisata yang lezat tanpa pungli, gurih tanpa konflik, dan ramah tanpa drama karena sejatinya, pariwisata itu seperti cinta kalau sudah nyaman, orang pasti balik lagi. Maka mari kita kibarkan spanduk “Pungli? Pamit dulu, ya! Wisata? Ayo ramai-ramai!”[***]