BICARA kuliner Indonesia, jangan cuma mikir rendang atau soto, tentu di balik setiap gigitan itu, ada sejarah, budaya, serta kata percayalah karena mahasiswa Poltekpar yang sibuk jadi detektif rasa, mereka bukan sekadar belajar resep, tapi menelusuri akar rempah, cerita desa, bahkan diplomasi rasa lintas negara, ibarat pepatah lama “Tak kenal rempah, tak sayang rasa”.
Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa, benar-benar tepat saat menyebut mahasiswa Poltekpar sebagai aktor utama pembangunan gastronomi Indonesia. Bayangkan seorang mahasiswa pagi belajar kimia pangan, siang mencicipi sambal ulek, malam menyusun strategi promosi kuliner.
Seperti detektif yang menelusuri jejak kriminal, mahasiswa ini menelusuri jejak rasa dari ladang cabai di Maluku, dapur rendang Minang, sampai piring turis di Paris, semua demi satu tujuan menjadi jembatan rasa dan cerita.
Ini yang membedakan wisata gastronomi dari wisata kuliner biasa, di sini, setiap rempah punya DNA budaya cengkeh dari Maluku, pala dari Banda, kayu manis dari Aceh yang menjadikan kuliner Nusantara bukan sekadar santapan, tapi pernyataan identitas bangsa. Ibaratnya, makan di Indonesia itu seperti membaca buku sejarah sambil mengunyah.
Selain budaya, ada sisi ekonomi yang tak kalah menarik. program Desa Wisata bukan hanya soal foto Instagramable. Kuliner lokal menjadi mesin ekonomi kreatif. Mahasiswa Poltekpar, dengan riset dan inovasi, bisa mengubah resep tradisional menjadi daya tarik global. Misalnya, satu desa di Yogyakarta bisa terkenal bukan hanya karena batiknya, tapi juga sambal terasi yang bikin lidah turis “menari” sambil tersenyum, kata pepatah “Dari dapur kecil, cita rasa besar muncul”.
Gastronomi juga jadi alat diplomasi budaya, lewat program seperti Indonesia Spice Up The World dan Wonderful Indonesia Gourmet, mahasiswa kreatif bisa memproyeksikan rempah Nusantara ke pasar global.
Seandainya kopi lokal yang dihidangkan di Paris, ditemani cerita tentang petani di Gayo, sambil tersenyum dan berkata, “Ini Indonesia, negara rempah dan cerita.” Tidak hanya rasa yang diekspor, tapi identitas dan nilai budaya.
Mahasiswa Poltekpar juga menjadi magnet wisatawan. Wisata gastronomi modern bukan cuma soal mencicipi makanan, tapi pengalaman lengkap belajar memasak, menanam rempah, ikut upacara lokal yang selalu menyertakan kuliner sebagai ritual.
Ibaratnya, turis bukan sekadar makan, tapi ikut “kuliner school trip” ala Indonesia. Mereka pulang membawa cerita, bukan hanya foto piring cantik.
Yang jelas, gastronomi bukan sekadar rasa, tapi cerita, budaya, dan inovasi, mahasiswa Poltekpar menjadi penghubung antara petani, koki, turis, bahkan diplomat rasa, dengan dedikasi, kreativitas, dan sedikit dagelan, mereka bisa memastikan setiap gigitan masakan Nusantara menjadi pengalaman tak terlupakan.
Mahasiswa Poltekpar adalah detektif rasa, agen cerita, dan duta budaya, dengan semangat kolaborasi, mereka bisa menjadikan Indonesia kekuatan kuliner dunia. Seperti pepatah Minang “Tak lari gunuang di dapo, tak makan sambal di piring orang” Artinya, jangan hanya menonton dari jauh terjunlah, cicipi, rasakan, dan bagikan cerita Indonesia ke dunia.
Jadi, mari kita dukung para mahasiswa ini mereka bukan sekadar pembelajar resep, tapi penjaga rempah, narator rasa, dan pengubah wajah wisata gastronomi Indonesia. Dan siapa tahu, di masa depan, detektif rasa ini akan membuat dunia bilang “Indonesia itu bukan cuma negara, tapi pengalaman yang bisa dicicipi”.[***]