Nasional

Sampah Bukan Ujung Jalan, Bumi Butuh Tanggung Jawab

ist

Sumselterkini.co.id, – Dalam sejarah peradaban manusia, sampah bukan hanya sisa, tapi juga cermin, cermin dari perilaku, kesadaran, hingga pola pikir sebuah masyarakat.

Bila cerminnya buram dan penuh lelehan minyak goreng, ya begitulah kira-kira kondisi mental kolektif kita, dalam kunjungan kerjanya ke Palembang kemarin sabtu siang Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyaksikan langsung TPA Sukawinatan yang saban harinya menampung 1.200 ton sampah.

Jumlah itu cukup untuk membangun bukit kecil, atau kalau kreatif dikit, bisa dijadikan arena sandboarding khusus anak-anak yang gemar aroma leci bercampur terasi basi. Wow harumnya …!!.

Angka 1.200 ton per hari untuk kota di luar Jawa memang menakjubkan, luar biasa tapi tepatnya untuk kata-kata mengkhawatirkan. Ini bukan hanya soal volume, tapi soal filosofi di mana kita menaruh rasa tanggung jawab terhadap apa yang kita konsumsi dan buang.

Pemerintah Kota Palembang dan Pemprov Sumsel layak diapresiasi atas lonjakan anggaran penanganan sampah dari Rp7 miliar ke Rp17 miliar. Tapi ingat, seperti pepatah lama “Uang banyak tak menjamin dapur tak berantakan, apalagi kalau semua lauk dibuang tanpa dimakan”.  Anggaran besar tak akan banyak artinya jika masih berpikir bahwa urusan sampah selesai saat sudah dipinggirkan.

Menteri Hanif benar ketika menegaskan  pengelolaan sampah tak bisa hanya dibebankan pada pundak pemerintah daerah. Sampah adalah anak kandung dari pola hidup kita sendiri. Dan seperti orang tua yang baik, seharusnya kita tak melempar anak ke jalan begitu saja.

Pendekatan berbasis sumber, di mana penghasil sampah juga turut bertanggung jawab, harus menjadi haluan utama. Warga, pelaku usaha, hingga warung kopi pojokan harus ikut terlibat. Jangan sampai semua hanya berteriak “lingkungan bersih”, tapi tetap membuang sedotan plastik ke selokan saat selesai minum es degan.

Dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2025, pengelolaan sampah diarahkan pada model yang lebih terpadu melalui pembangunan Material Recovery Facility (MRF). Ini bukan sekadar nama keren, tapi konsep yang sudah lama sukses di berbagai negara.

Di Kamikatsu, Jepang, warga rela memilah sampah hingga 45 kategori. Bayangkan kalau diterapkan di sini bisa-bisa warga Indonesia belajar ilmu filsafat dulu untuk membedakan jenis-jenis botol. Tapi nyatanya mereka berhasil menekan limbah hingga nyaris nol. Di sana, daur ulang bukan slogan, tapi ritual harian.

Bandingkan dengan kondisi di kita. Tempat sampah saja kadang diletakkan di depan rumah hanya untuk hiasan, atau malah jadi sarang kucing liar.

Padahal, kalau TPS 3R dikelola secara entrepreneurship, seperti usulan Menteri Hanif, kita bisa melihat peluang ekonomi yang besar. Di Surabaya, botol plastik bisa ditukar tiket bus.

Di Bandung, aplikasi digital bank sampah jadi ladang rupiah para ibu rumah tangga. Kalau diolah benar, sampah bisa jadi investasi, bukan kutukan.

Sayangnya, hingga kini banyak program pengelolaan sampah masih bergantung pada seremoni dan kunjungan pejabat. Satu dua tempat dicat warna-warni, diberi plang “Kampung Berseri Lingkungan”, lalu ditinggal begitu saja.

Padahal, menjaga lingkungan bukan proyek mingguan. Ia butuh kontinuitas, edukasi, dan yang terpenting contoh nyata dari para pemimpinnya. Warga tak butuh pidato panjang, mereka butuh tindakan konsisten. Kalau pejabatnya saja masih buang tisu sembarangan, bagaimana rakyatnya mau memilah organik dan anorganik?

Tentu tak semua gelap. Ada asa di balik tumpukan plastik dan sisa makanan, tapi harapan itu harus ditopang oleh visi, bukan sekadar anggaran.

Pemerintah daerah sebaiknya melibatkan komunitas kreatif, pelaku UMKM, bahkan mahasiswa teknik lingkungan untuk membuat sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Bukan tak mungkin, dari gerobak pemulung bisa lahir inovasi teknologi pengolahan baru, asal diberi tempat dan dukungan.

Pepatah bijak mengatakan “Bumi bukan warisan dari nenek moyang, tapi titipan untuk anak cucu”. Kalau titipan itu kita kembalikan dalam bentuk tumpukan sampah dan banjir langganan, maka kita telah gagal mewariskan hidup yang layak. Jangan sampai nanti anak cucu kita mengenal Palembang bukan dari cerita Sriwijaya, tapi dari aroma TPA yang menguar ke legenda.

Urusan sampah tak bisa lagi dipandang sebelah mata atau dilempar ke pinggiran kota. Ia harus menjadi agenda utama pembangunan, karena dari sanalah dimulai kebersihan, kesehatan, dan kelangsungan hidup sebuah kota.

Edukasi, kolaborasi, dan keberanian inovasi harus menjadi tiga serangkai yang berjalan berdampingan, di masa depan, kita tak perlu lagi menengok TPA sebagai simbol kegagalan, tapi sebagai bukti bahwa kita pernah bertarung melawan malas dan menang.

Sudah waktunya kita berhenti memperlakukan sampah sebagai aib yang ditutup-tutupi di ujung kota, sampah adalah bagian dari siklus hidup, dan pengelolaannya mencerminkan kedewasaan suatu masyarakat.

Jika kita ingin mewariskan kota yang layak huni, udara yang tak tercemar, dan sungai yang tak lagi menjadi jalur pelampung popok, maka reformasi mental dan sistem dalam hal persampahan harus dimulai sekarang. Jangan tunggu hingga TPA kita meledak.

Ubah cara pandang

Mari ubah cara pandang dari sampah sebagai masalah, menjadi peluang. Peluang ekonomi, peluang edukasi, dan peluang membangun kota yang lebih sehat. Pemerintah sudah mengayunkan langkah awal, masyarakat harus mengiringi dengan gerakan nyata. Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dan kalau bukan kita, siapa lagi?

Masyarakat harus sadar, membuang sampah sembarangan bukan hanya soal kebiasaan buruk, itu adalah dosa ekologi berjamaah. Mungkin terdengar berlebihan, tapi bayangkan satu plastik kresek kecil bisa hanyut ke sungai, tersangkut di muara, dimakan ikan, dan pada akhirnya, masuk ke perut kita sendiri dalam bentuk mikroplastik.

Karma lingkungan tidak pakai amplop atau undangan. Ia datang langsung lewat udara pengap, air keruh, dan perut yang menanggung limbahnya sendiri.

Pendidikan soal sampah seharusnya dimulai dari usia dini. Jangan tunggu anak-anak kita belajar daur ulang dari YouTuber luar negeri sementara di sekolah mereka sendiri tak tersedia tempat sampah organik dan anorganik.

Jika generasi muda tak diajari sejak kecil bahwa nasi yang dibuang adalah bentuk penghinaan terhadap petani, dan plastik sekali pakai itu tak benar-benar “sekali pakai”, maka kita sedang mencetak lulusan-lulusan masa depan yang cerdas di kepala tapi kacau di ekor dapur.

Dan terakhir, pengelolaan sampah bukan cuma tugas dinas kebersihan atau petugas penyapu jalan. Ini tugas kolektif. Sama seperti keamanan kota tidak hanya urusan polisi, kebersihan kota juga tak bisa dibebankan pada truk-truk compactor semata.

Bayangkan jika seluruh RT/RW punya program bank sampah, jika warung makan diberi insentif karena mengurangi plastik, dan jika influencer lebih rajin endorse daur ulang ketimbang skincare pemutih. Maka perubahan bukan lagi utopia.

Sampah bukan akhir dari sesuatu, justru ia bisa menjadi awal dari kesadaran. Kesadaran bahwa bumi ini bukan supermarket tak terbatas, dan tempat pembuangan akhir bukanlah jalan ninja menghilangkan dosa-dosa konsumsi kita. Saat kita bisa melihat nilai dalam sisa, kita sedang naik satu tangga menuju peradaban yang lebih beradab.[***]

Terpopuler

To Top