Sumselterkini.co.id, – Selamat Hari Buruh, wahai para pejuang dapur, petarung tanggal tua, dan ahli bertahan hidup dengan gaji pas-pasan. Tanggal 1 Mei datang lagi, tapi seperti biasa, upah naiknya seret, beban hidup tetap ngacir. Di negeri sendiri, buruh kita masih ada yang nasibnya lebih mirip kabel colokan terus-terusan dipakai, tapi digulung sembarangan kalau udah gak butuh.
Coba tengok buruh informal dan pekerja kasar. Mereka ini bukan cuma tulang punggung pembangunan, tapi juga lutut, betis, bahkan mata kaki ekonomi bangsa. Tapi apa daya, kerja dari jam enam pagi sampai jam enam sore, kadang lebih. Istirahat? Pura-pura buang air aja biar bisa duduk sebentar. Hujan? Jalan terus. Petir? “Lanjut, Ndro, target gak boleh kendor,” kata si bos!, apalagi bosnya “mata sipit”…melawan…pulangggg aja kau, alias pecattt!!!.[siapa yang punya negara?].
Dulu, para buruh dunia mogok besar-besaran di tahun 1886 demi minta kerja 8 jam sehari. Sekarang? Di banyak tempat, 8 jam itu baru separuh shift. Dikasih kerja lembur, tapi kadang upah lembur pun ikut lembur alias gak muncul-muncul. Nah, jadi kuda di tanah lahir sendiri..!.
Buruh kita ini ibarat kuda delman berlari tanpa nanya arah, asal majikan bilang jalan. Tapi ingat pepatah lama. “Sekuat-kuatnya kuda, kalau terus dipacu tanpa makan, ya mati juga.”
Aturan sudah ada, bukan tak ada. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebut bahwa jam kerja maksimal itu 7 jam sehari untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja. Lebih dari itu? Harus masuk kategori lembur, dengan hitungan upah sesuai ketentuan.
Lalu soal keselamatan kerja, Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja bilang bahwa pengusaha wajib menyediakan perlindungan terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Ada juga PP No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3 (SMK3), yang seharusnya jadi SOP setiap tempat kerja, bukan pajangan di lemari besi.
Tapi kenyataan terkadang di lapangan, aturan itu kayak sandal jepit dipakai hanya saat dibutuhkan, dan dilepas begitu masuk ruangan. Safety? Banyak yang baru pakai helm proyek kalau ada kunjungan atasan. Hujan deras, petir menyambar? “Kerja terus, target gak boleh kalah sama cuaca!,” katanya.
Ini bukan sekadar pelanggaran aturan, tapi juga pelanggaran rasa kemanusiaan. Yang lebih miris, banyak pekerja takut bersuara. Mau protes, takut dipecat. Mau mogok, takut gak dibayar. Akhirnya, semua diam. Diam karena lapar gak bisa ditunda.
Padahal, tokoh buruh dunia Eugene V. Debs pernah bilang “The rights of working people should not be sacrificed on the altar of corporate greed.”
Hari Buruh seharusnya bukan hanya tentang pawai dan spanduk, tapi momen refleksi apakah buruh sudah hidup layak di negeri yang katanya kaya raya ini?. Kalau negara ini terus abai terhadap buruh informal dan pekerja kasar, maka pelan-pelan kita sedang membangun pabrik raksasa tanpa atap, tempat kerja yang luas, tapi tak ada perlindungan. Mereka kerja mati-matian, tapi hidupnya tetap jalan di tempat.
Buruh itu bukan alat, mereka manusia. Jangan sampai slogan “Indonesia Emas” hanya bersinar di PowerPoint, tapi buruhnya tetap makan nasi pake garam dan senyum palsu. Saatnya negara, pengusaha, dan kita semua sadar. “Buruh bukan roda gigi pabrik. Mereka adalah denyut nadi bangsa.”
Bahkan buruh-buruh kita tak butuh pujian panjang atau spanduk warna-warni setiap 1 Mei. Mereka cuma ingin kerja manusiawi, upah cukup, waktu istirahat jelas, dan keselamatan kerja yang bukan sekadar formalitas.
Jangan sampai negara ini sibuk bicara ekonomi tumbuh, tapi lupa bahwa pertumbuhan itu ditopang oleh tulang punggung yang mulai bungkuk. Jangan pula pengusaha terus bicara efisiensi, tapi diam waktu buruh kerja di tengah petir sambil makan gorengan dingin di bawah beton setengah jadi.
Kalau semua tetap begini, Hari Buruh tiap tahun cuma akan jadi ritual tahunan penuh orasi, tapi tanpa aksi. Macam nonton sinetron lama, jalan ceritanya muter-muter, ujung-ujungnya tangisan yang sama.
Dan kalau buruh terus dibiarkan bekerja tanpa perlindungan yang nyata, maka sejarah akan mencatat.“Di negeri yang katanya subur makmur, buruh tetap harus belajar sabar, meski tiap hari dibakar terik dan diterjang badai.”
Sementara itu, kita yang punya pena, suara, atau sedikit ruang bicara, jangan cuma duduk manis sambil update status “Selamat Hari Buruh.” Karena seperti kata pepatah lama versi buruh.“Keringat itu tidak bisa ditukar dengan ucapan semangat, tapi dengan keadilan dan perlindungan yang nyata,”.
Selamat Hari Buruh. Semoga tahun depan, para pekerja kita tak lagi hanya merayakan harapan, tapi sudah memetik hasil dari perjuangan.[***]