Sumselterkini.co.id, – Musyawarah Daerah V Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (SP.KEP.SPSI) Sumatera Selatan baru saja digelar di Hotel Swarna Dwipa, dan alhamdulillah bukan di lapangan futsal atau pinggir jalan yang penuh debu. Dibuka langsung oleh Sekda Sumsel, H. Edward Candra, acara ini sebenarnya bukan sekadar ajang temu kangen sambil nyeruput kopi dan lempar pantun, tapi juga titik balik penting dalam menata ulang relasi antara pekerja dan pengusaha dua entitas yang, kalau akur, bisa bikin pabrik jalan terus tapi kalau bertengkar, bisa-bisa mesin mogok dan meja rapat kebanyakan nada tinggi.
Pak Sekda sendiri sudah buka dengan ucapan penuh harapan. Katanya, hubungan harmonis itu penting. Ya iyalah, kayak rumah tangga, kalau suami-istri nggak harmonis, berujung piring beterbangan. Sama juga, kalau buruh dan pengusaha nggak sejalan, ya produktivitas bisa jeblok, demo jadi kegiatan mingguan, dan ujung-ujungnya semua rugi.
Tapi ada satu pernyataan Pak Sekda yang bikin kening ikut berkerut dari sekitar 7.692 perusahaan di Sumsel, baru ada 1.508 Serikat Pekerja yang tercatat. Waduh, ini ibarat punya 7.692 nasi bungkus tapi cuma 1.508 sendok sisanya makan pakai tangan, atau malah cuma jadi penonton. Serikat pekerja ini bukan aksesoris pabrik yang cuma dipajang di mading dekat toilet, tapi garda depan yang memperjuangkan hak sambil jaga hubungan baik dengan atasan. Kalau serikat nggak terbentuk, ya buruh ibarat ayam tanpa kandang ngais-ngais sendiri, rawan diterkam aturan sepihak.
Coba kita tengok pepatah lama “Di mana ada gula, di situ semut berkumpul”. Tapi kalau gulanya disimpan di laci terkunci dan semutnya cuma bisa ngintip, ya bubar jalan. Sama halnya dengan kebijakan perburuhan yang katanya demokratis dan terbuka, tapi akses buruh buat membentuk serikat masih kayak mimpi naik kereta gantung di Musi ada bayangannya, tapi nggak kesampaian.
Ketua Umum SP.KEP.SPSI, R. Abdullah, juga sudah mengingatkan bahwa Musda ini bukan sekadar gelar acara dan bagi nasi kotak. Ini saatnya mengevaluasi kinerja, mencari jejak, dan menentukan pemimpin yang bukan cuma jago pidato, tapi paham bagaimana memutar nasib buruh dari sekadar tenaga kerja jadi mitra strategis. Jangan sampai organisasi buruh cuma rame pas Musda, tapi sepi pas dibutuhkan.
Nah, ini kita sindir halus ya, buat para pengusaha yang masih alergi sama kata serikat buruh itu bukan musuh bebuyutan, mereka bukan gerombolan demo yang doyan teriak doang. Mereka itu seperti rem dalam mobil. Kalau tak ada rem, mobil memang bisa melaju kencang, tapi sekali nabrak, habis semua. Serikat buruh itu justru rem sekaligus GPS yang bisa bantu perusahaan tetap di jalur aman dan seimbang.
Dan buat para buruh sendiri, jangan juga serikatnya cuma aktif buat urusan sumbangan hajatan atau arisan. Serikat buruh itu tempat belajar, berdialog, bahkan berdiplomasi. Jangan cuma jadi anggota pas mau dapet kaos gratis atau ngincar konsumsi saat rapat. Jadilah buruh yang tak hanya bisa mengaduk semen atau menyalakan mesin, tapi juga mengaduk strategi dan menyalakan semangat perubahan.
Kalau pengusaha dan buruh akur, itu bukan mustahil. Asal keduanya sadar kita ini bukan lawan, tapi pasangan duet dalam orkestra ekonomi. Serikat buruh bukan stiker tempel, tapi kompas moral dan struktural agar semua bisa jalan beriringan. Pemerintah? Harus jadi konduktor yang jeli. Jangan malah ikut main suling di balik layar buat nutup-nutupin nada sumbang.
Mari kita bangun dunia kerja yang bukan cuma sibuk mengejar target produksi, tapi juga menjunjung nilai kemanusiaan. Karena seperti kata pepatah kocak dari kakek saya, “Kalau kerja keras saja cukup bikin orang sukses, kuli panggul sudah jadi konglomerat sejak zaman batu”. Jadi, mari kerja keras, kerja cerdas, dan jangan lupa berserikatlah sebelum kalian terserikat oleh sistem.[***]