Kebijakan

“Bonus Demografi Tak Akan Berarti Tanpa Pemuda di Desa”

ist

WAKTU kecil, kita sering dikasih dongeng soal kota yang gemerlap, gedung tinggi, dan pekerjaan berjas. Tapi tak ada yang cerita soal desa, tempat di mana ayam berkokok jadi alarm, dan BUMDes jadi harapan ekonomi. Sekarang, Presiden Prabowo justru ngajak kita balik ke tempat itu. Bukan buat nostalgia, tapi buat bangun ulang dari akar. Ya, dari desa.

Meski di negeri yang suka bilang “dari rakyat untuk rakyat”, kadang rakyat desa cuma kebagian jadi penonton, kini narasinya mulai berubah. Pemerintah tak lagi melihat desa sebagai halaman belakang, tapi sebagai ruang tamu masa depan. Anak muda, kalau masih ngotot ke kota cuma buat kerja di coworking space, yakin, nggak salah alamat?

Bahkan lebih serius lagi, Presiden Prabowo juga sampai masukin “Desa” ke dalam Asta Cita ke-6, semacam 8 butir nasi goreng impian Indonesia masa depan.

Intinya tak lain untuk membangun dari desa, membangun dari bawah, bukan dari langit, kalau negara diibaratkan bangunan, desa itu fondasinya. Masak iya, kita bangun rumah mulai dari atap dulu? Nanti yang ada angin lewat dikit, ambruknya barengan sama cita-cita.

Menteri Desa Yandri Susanto bahkan bilang, desa itu strategis, bukan cuma strategis buat tempat healing, tapi strategis buat masa depan ekonomi bangsa. Coba pikir, masa depan kita ini bukan di coffee shop yang sewa colokan bayar per jam, tapi di kebun, di lumbung, di sawah, dan di koperasi-koperasi desa yang mulai rame kayak akun TikTok gosip.

Yandri juga ngingetin jangan sampe pemuda cuman jadi penonton, apalagi penonton yang hobinya nyinyir di kolom komentar tapi nggak pernah turun ke lapangan. Ayo, yang kemarin rajin bikin konten “Life Hack 1 Menit”, sekarang waktunya bikin “Desa Hack 1 Dekade”. Ada Makan Bergizi Gratis (MBG), ada Koperasi Desa Merah Putih, dan ada BUMDes yang bisa jadi panggung utama.

Kalau dulu anak muda rebutan kerja di kantor yang ruangannya dingin kayak kulkas, sekarang harus rebutan jadi penggerak di desa, karena percayalah, desa sekarang bukan cuma tempat lahir lagu “Ojo Dibandingke”, tapi juga tempat lahir ekonomi kerakyatan yang tahan guncangan dari inflasi sampe mantan.

Yandri juga cerita soal Jepang dan Korea Selatan, dulu mereka kayak abang-abang FYP keren, trendy, jadi panutan. Tapi sekarang? Lagi pusing tujuh keliling. Kenapa? karena semua orang pindah ke kota, desanya sepi kayak hati pas ditinggal pas sayang-sayangnya. Penduduk desa makin tua, yang muda pada kabur, pertumbuhan ekonomi pun mandek. Ngeri!

Jepang bahkan sampai nyogok warganya buat mau pindah ke desa, saking sepinya. Pemerintah Jepang udah kayak emak-emak ngasih uang jajan ke anaknya supaya mau mudik. Tapi kita di Indonesia masih punya kesempatan buat gak jadi Jepang. Kita bisa belajar dari kesalahan mereka.

Kita bisa jadi bangsa yang nggak cuma ikut tren, tapi bikin tren. Caranya? Ya itu tadi pemuda jangan kabur ke kota semua, tapi balik ke desa dan bikin desa jadi tempat keren, tempat bangga, tempat peluang, bukan tempat pelarian terakhir.

Nah, ini bagian pentingnya ciptakan gula-gula di desa bukan permen karet, tapi harapan manis bagi masa depan. Misalnya, WiFi lancar, jalan mulus, akses pendidikan dan kesehatan gampang, serta dukungan untuk wirausaha desa. Jangan sampai anak muda desa merasa tinggal di tempat yang loading terus, harusnya desa jadi tempat yang download masa depan, upload harapan.

Bayangin kalau anak muda desa punya akses modal dari koperasi Merah Putih, ditambah kreativitas yang udah diasah dari bikin konten tiap hari, pasti bisa bikin usaha kreatif dari peternakan bebek sampe agrowisata selfie di tengah sawah. Siapa bilang desa itu jadul? Asal ada niat dan tekad, bahkan sawah pun bisa jadi panggung TikTok ekonomi kerakyatan.

Saatnya pemuda jadi Superhero

Lihat India, di sana ada program Startup Village yang bantu anak muda bikin bisnis digital di desa. Atau lihat Rwanda, negara kecil di Afrika yang bisa digitalisasi layanan desa sampai bikin iri tetangga.

Di Eropa Timur, ada banyak kisah sukses anak muda yang balik ke desa, garap pertanian organik, hasilnya malah diekspor ke Jerman dan Belanda. Masa kita kalah sama mereka?

Sekarang waktunya pemuda Indonesia jadi superhero lokal, bukan yang pakai jubah, tapi yang pakai caping. Bukan yang terbang di langit, tapi yang terjun ke ladang. Jangan mau dikalahkan sama kakek-nenek kita yang dulu bisa bangun desa tanpa sinyal, tanpa PowerPoint, tanpa WiFi, tapi semangatnya bikin getar bumi.

Ayo kita rebut masa depan, mulai dari desa karena sejatinya, desa bukan tempat tinggal masa lalu, tapi tempat merancang masa depan.

Atau mau nunggu Jepang dan Korea ngajak kita barter warga? Jangan sampai nanti pemerintah kita bilang, “Siapa yang mau dikirim ke desa Jepang? Nanti dapet jatah ramen dan TikTok gratis”. Jangan nunggu sejauh itu. Yuk, gerak dari sekarang. Desa nunggu lo, Bro.

Dan ingat pepatah dari nenek moyang kita “Kalau mau panen padi, jangan cuma tepuk tangan di pematang. Turun, tanam, rawat, baru rejeki datang”

Kalau desa adalah ladang masa depan, maka pemuda adalah petani harapan. Udah saatnya berhenti jadi penonton sinetron pembangunan, jadi aktor utama di layar lebar Indonesia Emas 2045!.[***]

Terpopuler

To Top