PEPATAH bilang, “Kalau cinta bisa memudar, kompor tua ini malah tetap menyala”, jangan tanya mereknya, soalnya tulisan di tengah udah buram, kalah sama ujung sendok sayur yang digigit tikus. Tapi satu hal yang pasti dialah saksi bisu rumah tangga kami sejak zaman Orde Reformasi masih panas-panasnya. Tahun 2001 kami nikah, tapi kompor ini? Udah nongkrong duluan di dapur sebelum ijab kabul disahkan.
Waktu itu, dia (istri saya, bukan kompornya) masih gadis lugu yang lebih sibuk ngumpulin perabotan dapur ketimbang kenangan mantan. Kompor, panci, teflon, sampai lap meja warna norak,jreng semua udah diborong sebelum akad. Katanya, “Biar nanti nggak repot kalau udah nikah”. Saya cuma manggut-manggut, padahal dalam hati, “Nah ini cewek serius, bukan yang cuma bisa foto-foto latte”
Sejak saat itulah, kompor ini jadi bagian penting dalam rumah tangga kami, mulai dari masak nasi pagi-pagi sambil merem, sampai oper ayam buat acara arisan RT, dia selalu hadir, bahkan waktu gas habis dan tetangga ngutang dua hari, kompor ini tetep setia ditatap sambil nunggu si abang gas datang kayak ditunggu mantan yang nggak jadi pulang kampung.
Meski rumah kami udah pindah empat kali, dari seputar Palembang Timur Sekojo – Jl Azhari Kalidoni, lalu ke Lemabang, dan terakhir ke tempat kami sekarang. Tapi kompor ini? Dia ikut terus, walau kadang protes lewat nyala api yang mulai seiprit-seiprit, seperti orang tua yang udah ngos-ngosan naik tangga masjid.
Kalau dihitung, umurnya sekarang udah 24 tahun, wah…luar biasa kan. Itu lebih tua dari dua srikandi kecil kami, yang (dulu masih di awang-awang) sekarang sudah meranjak dewasa. Bahkan waktu mereka masih dalam rencana Tuhan, kompor ini udah rajin masak sayur bening dan telur dadar tiap pagi. Dan anehnya, sampai sekarang dia masih awet, kayak wajah temen TK yang nggak tua-tua karena skincare dan doa ibu.
Ada yang bilang, “Kompor itu hanya alat.” Tapi buat kami, dia lebih dari itu. Dia adalah simbol cinta yang terus menyala, bahkan saat api asmara mulai redup karena rebutan saluran YouTube di TV. Dia jadi penjaga dapur, penghangat rumah, dan saksi pertengkaran kecil yang diselesaikan dengan sepiring nasi goreng jam 10 malam.
Kalau kompor bisa ngomong, mungkin dia udah nulis novel, judulnya bisa Dari Ayam Oper ke Telur Ceplok Memoar Sebuah Kompor Tua. Di bab pertamanya, dia akan cerita bagaimana pertama kali api dinyalakan dengan pemantik tua yang bunyinya kayak kentut anak kecil. Di bab terakhir, dia pasti cerita soal cucunya. Eh…., maksudnya panci-panci baru yang datang, tapi tetap kalah tua sama dia.
Dia juga paham ritme hidup kami, tiap pagi jam 6 dia menyala, malam kadang istirahat jam 9. Tapi kalau tiba-tiba ada acara bakar sosis dadakan atau bikin mi instan jam 2 pagi, dia tak pernah menolak. Setia, tabah, dan nggak pernah ngomel, nggak kayak beberapa orang, ya kan?
Bukan hanya jasanya dalam urusan dapur, tapi juga filosofi hidup yang dia ajarkan. Bahwa yang tua bukan berarti usang. Yang lama bukan berarti tak berguna. Dan yang sederhana bukan berarti tak luar biasa. Kadang yang paling penting dalam hidup kita justru yang nggak pernah kita perhatikan kayak kompor tua ini, yang bahkan nggak pernah minta ganti spare part.
Kalau dia bisa ngomong pasti dia pesan rawatlah yang ada, jangan tergoda yang baru, karena belum tentu kompor digital bisa kasih rasa nasi goreng seenak buatan kompor manual. Kadang cinta nggak butuh teknologi, cukup kehangatan dan gas yang cukup buat satu panci.
Kami tahu suatu saat mungkin dia harus pensiun. Tapi kalau bisa, kami mau dia tetap di dapur kami. Mungkin nanti dikasih bingkai, dipajang di ruang tamu, atau dijadikan tempat naruh kembang. Karena setia itu langka, bahkan di dunia perkomporan.
Jadi buat kamu yang suka buang barang lama hanya karena udah ada versi baru pikir lagi, bisa jadi yang kamu buang justru yang paling berjasa dalam hidupmu, seperti kompor ini, yang tak hanya menyala di dapur, tapi juga di hati.[***]