AKU ini pisau, iya…, benda besi yang sering nongkrong di dapur, di warung sate, bahkan di tas abang-abang tukang buah. Jangan salah, meski aku kelihatan dingin, aku punya perasaan juga. Kadang aku dipakai tiap hari, kadang juga dilupain di laci sampai berkarat. Rasanya kayak mantan yang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.
Orang suka bilang, “pisau itu tajam di awal, tumpul di akhir.” Nah, itu sebenarnya perumpamaan buat hidup manusia juga. Awal-awal pacaran manis banget, SMS tiap lima menit. Begitu udah nikah, jangankan SMS, minta tolong buang sampah aja jawabnya “ntar.” Aku jadi saksi sejarah betapa pisau itu bukan sekadar alat, tapi juga filosofi kehidupan.
Fungsiku jelas memotong. Tapi jangan kira aku cuma bisa motong sayur. Aku bisa motong daging, buah, sampai tali rapia yang suka bikin kesal kalau lagi buru-buru. Bahkan aku sering dipakai motong perasaan juga, contohnya pas emak-emak lagi masak, tiba-tiba matanya berair gara-gara bawang. Orang bilang, “ah bawang bikin nangis.” Padahal aku juga ikut andil, akulah eksekutor yang bikin bawang itu kepotong dan akhirnya air mata pun jatuh.
Aku ini kayak wasit di lapangan bola, tegas, lurus, dan gak bisa kompromi. Kalau aku bilang potong, ya potong. Gak ada istilah “besok aja.” Fungsi utamaku adalah melancarkan hidup manusia biar gak harus gigitin singkong mentah kayak orang zaman purba. Bayangin aja kalau dunia tanpa aku, kalian pasti rebutan gigi siapa yang lebih kuat buat motong ayam goreng.
Manfaatku jangan diremehkan. Aku bagaikan teman setia yang selalu hadir dalam suka duka dapur. Lagi ulang tahun? Aku yang motong kue tart. Lagi hajatan? Aku yang motong daging buat rendang. Lagi camping? Aku yang motong kayu kecil buat bikin api unggun. Kalau aku gak ada, jangan harap bisa gaya-gayaan motong semangka sambil senyum ke gebetan.
Manfaatku bukan cuma di dapur, tapi juga di hidup. Aku mengajarkan bahwa sesuatu yang tajam itu gak selalu jahat. Tajam itu perlu, biar hidup gak hambar. Pikiran yang tajam bisa bikin orang sukses, mulut yang tajam kadang bikin orang sakit hati, tapi kalau tajamnya pas, bisa jadi kritik yang membangun. Jadi, aku ini kayak pedang bermata dua bisa menolong, bisa juga melukai. Semua tergantung siapa yang megang.
Orang tua dulu suka bilang, “hidup itu kayak pisau, kalau diasah terus makin tajam, kalau dibiarkan bakal berkarat.” Itu benar. Aku kalau rajin diasah, bisa jadi andalan ibu-ibu masak sop. Tapi kalau dibiarkan di pojokan dapur, lama-lama aku karatan kayak panci tua. Sama kayak otak manusia: kalau gak diasah dengan belajar, nanti tumpul, loyo, dan gampang dibodohi.
Ada juga pepatah kocak “Pisau tumpul masih bisa motong hati yang rapuh.” Eh, itu mungkin kata- kata anak galau. Tapi bener juga, meski aku udah tumpul, aku masih bisa bikin orang tersentuh.
Aku ini kayak jodoh, kalau diperlakukan baik, aku bisa jadi teman setia. Kalau asal-asalan, ya aku bisa bikin celaka. Banyak cerita di dapur, orang lagi motong sayur sambil ngobrol, eh jarinya malah ikut kepotong. Itulah akibatnya kalau gak fokus.
Misalnya aku lagi dipakai di dapur, emak-emak biasanya megang aku sambil ngomel, “duh harga cabai naik lagi.” Aku jadi saksi sekaligus korban. Aku dipakai motong cabai, tapi sekaligus aku juga dengerin curhatan emak. Kadang aku mikir, aku ini kayak psikolog dapur tiap hari dengerin keluh kesah manusia, tapi gak pernah dikasih honor.
Aku juga sering dipakai bapak-bapak di kebun buat motong pisang. Kalau lagi panen, aku jadi pahlawan. Tapi kalau salah sasaran, aku bisa nyangkut di pelepah pisang dan dibiarin di situ berhari-hari. Rasanya kayak anak kos yang ditinggal pulang kampung sama temen sekamarnya. Sepi, dingin, dan berdebu.
Dari semua kisahku, ada satu pesan penting: jadilah manusia kayak pisau. Tajam dalam berpikir, berguna buat orang lain, tapi jangan sampai melukai sesama. Karena apa artinya tajam kalau cuma buat nyakitin?
Pisau itu sederhana, tapi fungsinya luar biasa. Sama kayak manusia, yang sederhana bisa jadi sangat berguna kalau ditempatkan pada waktu dan tempat yang tepat. Aku ini kecil, ringan, tapi bisa jadi kunci kelancaran acara besar kayak pesta nikahan. Coba jika resepsi tanpa aku, pasti susah motong tumpeng.
Hidup juga kayak aku, kalau diasah terus, kita makin tajam. Kalau dirawat baik, kita bisa panjang umur. Kalau dipakai sembarangan, kita bisa nyakitin diri sendiri dan orang lain. Jadi, hati-hati.
Aku pisau, benda sederhana yang sering diremehkan. Tapi tanpa aku, hidup kalian bakal ribet. Aku bisa jadi sahabat setia di dapur, di kebun, di pesta, bahkan di filosofi kehidupan. Ingatlah pepatah “Pisau tajam tak berarti apa-apa kalau tidak digunakan dengan bijak”.
Jadi, kalau kamu manusia, belajarlah dari aku. Asahlah otakmu, gunakan waktumu, dan jangan asal nyakitin orang, karena sebaik-baiknya pisau adalah yang bermanfaat, bukan yang bikin luka.
Kalau ada yang bilang hidup itu pahit, ingat!, aku bisa bantu motongin gula aren biar manis. Kalau ada yang bilang cinta itu ribet, ingatlah aku bisa motong bawang, tapi urusan air mata tetap kamu yang tanggung.
Sekian dari aku, pisau yang setia. Jangan lupakan aku di laci, karena tanpa aku, makanmu gak bakal nikmat.[***]