Industri Kreatif & UKM

Menambang Ide, Menata Masa Depan, Mengapa Daerah Perlu Memeluk Ekonomi Kreatif!

ekraf

DI banyak sudut negeri ini, ide bermunculan seperti gorengan saat hujan deras, hangat, dan bikin ketagihan. Ada yang menjahit kain perca jadi tas kece, ada yang bikin animasi pakai laptop yang udah ngos-ngosan, ada pula yang jualan kopi kampung via Instagram dengan gaya sebaris “Strong like your ex’s prinsip, tapi tetap aromatik”.

Semua bergerak, berkembang, dan tumbuh, bahkan sebelum pemerintah sempat bertanya, ini udah jadi produk unggulan daerah, ya?
Begitulah wajah Indonesia hari ini rakyatnya kreatif, penuh akal, dan pantang menyerah walau sinyal 4G kadang berubah jadi “E”.

Tapi seperti tanaman liar yang tumbuh di sela-sela trotoar, mereka tetap butuh tanah subur, air teratur, dan naungan legalitas.

Di sinilah pentingnya Dinas Ekonomi Kreatif di daerah bukan sekadar OPD, tapi rumah bagi ide-ide lokal agar tak tumbuh liar atau kabur ke kota sebelah.

Ekonomi kreatif bukan cuma soal jadi seleb TikTok atau jualan tote bag bertuliskan “Aku Butuh Liburan”. Ini soal cara baru membangun ekonomi, bukan dari tambang, tapi dari imajinasi dan budaya.
Kalau tambang emas butuh alat berat dan SOP tambang, tambang ide butuh ruang ekspresi dan SOP pendampingan.

Bayangkan daerah yang punya potensi ukiran kayu, makanan khas, cerita rakyat yang bisa dibikin jadi animasi, komunitas penulis yang suka kumpul di pos ronda, atau anak-anak muda yang ngedit video pakai ponsel butut tapi niatnya melebihi deadline KUA.

Potensi itu jangan dibiarkan jadi “bakat alam yang dibiarkan alamiah”. Perlu dikelola dengan sentuhan kelembagaan, biar gak hanya viral, tapi juga berkelanjutan.

Seiring zaman, peran pemda bukan cuma urus jalan rusak dan lampu taman. Sekarang, pemda harus jadi pelatih ide, pengasuh kreativitas, dan penjaga warisan lokal. Nah, di sinilah pentingnya Dinas Ekraf bukan jadi tempat fotokopi proposal event, tapi jadi dapur ide dan ruang pelatihan ekonomi baru.

Biar para kreator tak cuma dapat pujian saat menang lomba, lalu dilepas seperti mantan yang tidak dibelikan cincin.
Dinas Ekraf itu kayak barista buat biji kopi lokal: tahu kapan menggiling, kapan menyeduh, dan kapan mempromosikan. Jadi bukan sekadar penonton ide-ide warga, tapi ikut mengangkatnya.

Belajar dari Negara lain, mereka serius, kita jangan setengah hati, tengok tetangga global kita Korea Selatan dari boyband sampai kimchi, semua dijual pakai strategi branding. Pemerintahnya bukan cuma kasih izin, tapi juga kasih subsidi dan panggung. Jepang, karakter fiktif kayak Pikachu bisa jadi sumber devisa. Negara mendukung penuh industri konten, bahkan ada universitas khusus desain karakter!

Thailand, konten film, wisata, makanan semua diangkat jadi kekuatan ekspor—berkat dukungan lembaga kreatif yang konsisten dan Australia bahkan di desa yang sinyalnya kalah sama angin, senimannya tetap bisa dapat dukungan karena ada sistem yang mendanai dan melindungi mereka.

Jadi, kenapa kita nggak mulai dari sekarang? Bukan untuk saingan, tapi buat ngerapihin dapur sendiri. Jangan sampai nanti ide lokal kita malah dipatenin orang luar hanya karena kita telat bikin payung hukumnya.

Menyiapkan masa depan sebenarnya bukan sekadar trend, tapi  memang transisi ekonomi, seperti memang sudah kewajiban kalau kita mau bersaing secara global. Saat ini sudah 19 provinsi dan 56 kabupaten/kota yang punya Dinas Ekraf.

Bagus, tapi jangan berhenti di angka. Mari dilanjutkan ke aksi nyata. Jangan sampai yang diurus cuma pelantikan pejabatnya, tapi lupa ngurus program dan penguatan SDM-nya.

Ingat, ekonomi kreatif itu tahan banting, pandemi aja tak membuatnya pingsan. Justru makin banyak yang bikin konten, jualan online, hingga bikin produk lokal dari rumah. Karena itu, bentuklah Dinas Ekraf bukan karena kewajiban, tapi karena kesadaran bahwa masa depan tidak sedang menunggu, ia sedang berjalan dan berlari.

 

Seperti pepatah era digital “Yang cepat bukan lagi yang menang, tapi yang adaptif, kreatif, dan punya niat”. Dan membentuk kelembagaan ekonomi kreatif adalah bentuk niat itu.

Ekonomi kreatif bukan milik kota besar atau anak Jaksel semata. Ia milik ibu-ibu perajin, anak-anak muda penggambar komik, barista warung kampung, dan semua orang yang percaya bahwa gagasan bisa jadi penghasilan.

Kita buat rumahnya Dinas Ekraf, agar ide-ide yang lahir di gang sempit bisa punya panggung seluas dunia, karena yang menambang ide hari ini, akan menata kesejahteraan esok hari. Dan tak ada tambang yang lebih lestari dari akal sehat dan imajinasi yang difasilitasi.

Ignasiya Galileo bilang, “Creativity is intelligence having fun”.  Artinya, kreativitas itu ketika otak diajak main, dan barista ide-ide lokal butuh disediakan alat dan tempat bermain!.[****]

Terpopuler

To Top