ADA pepatah tua bilang, “Ilmu tanpa amal, bagai pohon rindang tapi tak berbuah”. Tapi di Surabaya, tepatnya di Galeri Riset dan Inovasi Teknologi (GRIT) ITS, pepatah itu langsung dikasih catatan kaki, lalu diketik ulang jadi versi baru “Ilmu tanpa inovasi, cuma jadi skripsi yang berdebu di rak perpustakaan”.
Di galeri ini, ilmu bukan cuma dipajang kayak piala voli antarjurusan, tapi dipoles, diuji coba, bahkan disiapkan buat dijual kayak tahu bulat dadakan, tapi berpotensi jadi viral. Maka tak heran, waktu Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya datang ke GRIT, ia senyum-senyum bukan karena AC-nya dingin, tapi karena masa depan ekonomi kreatif ternyata bisa lahir dari kampus, bukan dari coffee shop semata.
GRIT ITS ini bukan galeri kaleng-kaleng. Kalau diibaratkan, dia itu kayak lemari es futuristik isinya penuh teknologi yang dingin, tapi idenya panas membara. Di dalamnya, berjajar prototipe operasional, maket canggih, dan pengalaman virtual reality yang bikin pengunjung serasa dilempar ke masa depan. Semua itu hasil racikan otak-otak mahasiswa dan dosen ITS yang luar biasa. Kalau otak mereka dijual di Shopee, pasti masuk kategori Best Seller + Free Ongkir.
Menteri Ekraf nggak cuma jalan-jalan sambil difoto, tapi juga melempar sinyal kuat ekonomi kreatif harus tumbuh dari daerah, bukan cuma dari sudut ruang rapat kementerian. Ia menyebutkan visi Presiden yang terangkum dalam Asta Cita yang intinya sih ingin rakyat punya kerjaan yang bukan hanya makan gaji buta, tapi bisa ngasih manfaat nyata.
Lucunya, saat mampir ke sektor gim dan seni rupa, sang Menteri malah tergelak. “Lah, ini siapa yang bikin karakter ini? Lucu banget,” katanya.
Rupanya, mahasiswa ITS bisa bikin robot dan animasi lucu sekaligus, ibarat tukang bangunan yang juga bisa jadi pelawak, serbabisa! Tapi di balik tawa itu, ada keyakinan bahwa industri kreatif bukan cuma soal lucu-lucuan, tapi soal nilai tambah dan keberlanjutan.
Rektor ITS, Bambang Pramujati, menyambut Menteri kayak petani yang lihat pupuk subsidi datang tepat waktu. “Kami sedang memperluas fasilitas prototipe, dan Fakultas Desain Kreatif dan Bisnis Digital akan jadi dapur utama inovasi,” katanya. Dapur ini bukan tempat masak mie instan, tapi tempat merebus ide-ide segar yang bisa dikemas jadi produk unggulan.
Di zaman sekarang, lapangan kerja tak lagi soal dasi, tapi soal ide, banyak pelaku kreatif punya otak encer, tapi dompetnya tipis kayak kulit risoles.
Kata Menteri, inilah pentingnya pendekatan hexahelix kolaborasi antara pemerintah, kampus, dunia usaha, komunitas, media, sampai lembaga keuangan. Intinya, semua pihak diajak patungan bikin masa depan.
Kunjungan Menteri Ekraf ke GRIT ITS Surabaya adalah bukti masa depan tak harus lahir di Silicon Valley, tapi bisa dari Surabaya, dari ruang kecil penuh prototipe dan mimpi besar. Di balik alat-alat canggih itu, ada peluh, ide, dan harapan mahasiswa yang ingin menjual karya mereka bukan cuma ke dosen pembimbing, tapi ke dunia.
Kalau kata pepatah masa kini “Kalau kamu nggak bisa warisin tanah, warisinlah karya yang bisa bikin orang bilang ‘wow!’.” ITS lewat GRIT-nya sedang melakukan itu mewariskan semangat inovasi, teknologi, dan kreativitas yang tidak hanya edukatif tapi juga sedikit kocak dan sangat inspiratif.
Jadi, kalau suatu hari kamu lihat mobil tanpa sopir buatan anak negeri lewat di jalan tol, jangan kaget. Mungkin itu dulu pernah dipajang di GRIT sambil ditemani mie instan dan harapan besar.[***]