APA jadinya kalau menteri, musisi, dan tukang foto senior berkumpul dalam satu ruangan? Bukan konser, bukan rapat kabinet, tapi sebuah pameran foto yang bisa bikin kita mikir ulang soal arti gambar dan jiwa.
Oleh sebab itu di tengah semarak pameran ‘The Colors of Art’, terselip pertanyaan besar kenapa karya fotografer lokal masih sering dipajang, tapi jarang dipanen secara ekonomi?, jawabnya di negeri yang kadang lebih sibuk selfie daripada mikirin inflasi ini, fotografi sering dianggap sekadar hobi sambil lalu.
Padahal, sejatinya, fotografi itu seperti jodoh, kalau diambil dari angle yang tepat, hasilnya bisa bikin baper se-RT. Itulah yang coba diungkap Wakil Menteri Ekonomi Kreatif (Wamen Ekraf) Irene Umar di tengah gegap gempita pameran foto SK-ART & Friends The Colors of Art.
Coba lihat, 75 karya dari 65 fotografer lokal ditata rapi di DOSS Megastore Ratu Plaza, Jakarta, seperti nasi padang di etalase kaca, semua terlihat menggiurkan. Mulai dari budaya lokal yang menyapa, hingga karakter film dan seni pertunjukan yang menyengat seperti rendang yang kebanyakan cabe.
Kalau kata pepatah, satu gambar bicara seribu kata, maka pameran ini seperti ribuan pasal cinta yang belum masuk KUHP.
Wamen Irene tak sekadar datang selfie lalu pulang, ia datang dengan energi makcomblang kreatif, membukakan akses untuk para fotografer, bukan hanya memotret tanah air dari atas tanah, tapi juga dari bawah tanah yang mungkin maksudnya bisa sampai ke gua, lorong MRT, atau bahkan isi dompet rakyat.
“Kami siap jadi perantara antara fotografer dan ruang publik, bukan cuma di Indonesia, tapi sampai luar negeri”, kata Wamen Irene dengan gaya seperti ibu kos yang lagi bantuin mahasiswa cari kerja praktek.
Pernyataan ini bukan basa-basi, karena menurut para ahli fotografi dunia, Steve McCurry, “Fotografi itu tentang menemukan sesuatu yang luar biasa dalam hal yang biasa” atau seperti Henri Cartier-Bresson, “Untuk memotret adalah memegang napas, ketika semua kemampuan kita menyatu dalam menghadapi realitas yang mengalir”.
Maka karena itu, tidak heran kalau banyak hasil jepretan fotografer SK-ART bisa bikin orang diem sejenak dan mikir, “Lho kok merinding?”
Yovie Widianto komposer kesayangan bangsa juga ikut nimbrung, ia bilang meskipun AI makin canggih, tetap saja karya manusia punya ‘jiwa’.
“Kadang, justru ketidaksempurnaan itulah yang membuat karya terasa hidup. AI bisa bantu, tapi tak bisa menggantikan rasa,” ujar Yovie.
Ya, seperti mie instan dengan topping cinta yang ngulek bumbunya harus tetap manusia.
Kritik
Namun di balik segala pujian dan kehangatan itu, ada satu rengekan kecil dari fotografer masih banyak dari mereka yang takut berkarya karena khawatir dibajak, tak dihargai, atau cuma dipakai gratis buat brosur pemda. Ini seperti chef yang takut masak karena takut nasinya dijadikan lem.
Padahal, seperti kata Wamen Irene, karya-karya ini bisa jadi passive income, dan bahkan the new engine of growth buat Indonesia.
Sayangnya, di negeri kita, perlindungan terhadap hak cipta fotografer kadang lebih tipis dari casing HP KW. Coba lirik ke negara tetangga, contoh Jepang bikin galeri digital nasional semacam Spotify-nya fotografi yang mengkurasi karya fotografer lokal, memberi royalti per unduhan.
Finlandia bahkan menyubsidi pameran lokal dan rutin mengirim karya fotografer ke pameran internasional sebagai bagian dari diplomasi budaya.
Korea Selatan punya program edukasi visual untuk pelajar dan membuka ‘co-exhibition’ antara fotografer dan ilustrator di galeri publik.
Lha kita?, kadang ngadain lomba foto, hadiahnya sepeda, terus hasil karyanya dipajang di kantor tapi lupa nyantumin nama. Miris, ‘kan?.
Bayangkan jika tiap kelurahan punya galeri mini, bukan buat pelantikan RT RW aja, tapi ruang pameran bergilir karya foto warga. Atau lebih jauh BUMN bisa kerja sama bikin merchandise dari karya foto, bukan cuma kaos bertulisan “BUMN Hadir di Hatiku”.
Kemenparekraf bikin aplikasi “Nusantarapix” tempat orang bisa beli lisensi foto asli dari fotografer lokal, bukan dari stok gambar luar negeri yang aktornya bule semua, dan tiap kementerian punya “Foto of the Month” dari seniman lokal yang dihargai layak, bukan cuma dijadikan spanduk perpisahan pejabat pensiun.
Sesi talkshow “Teman Seperjalanan SK-ART” menghadirkan para legenda Kota Tua Hardijanto Budiman, Fajar Kristiono, dan Ve Dhanito.
Kisah mereka bukan sekadar nostalgia jaman kamera masih pakai roll film, tapi juga pelajaran bahwa fotografi bukan cuma soal teknis, tapi soal ketulusan. Soal menyambung mata hati, bukan cuma mata lensa.
Seperti kata pepatah modern, “Lensa boleh 50mm, tapi hatinya harus 100%”
Pameran “The Colors of Art” bukan cuma ajang gaya-gayaan. Ia seperti sumbu kecil yang bisa menyalakan lilin kreativitas anak bangsa. Kita butuh lebih banyak dukungan, bukan hanya dari pemerintah tapi dari kita semua agar fotografer kita tak cuma jadi juru dokumentasi kawinan, tapi bisa jadi duta emosi bangsa lewat karya.
Karena kalau negeri ini kehilangan fotografer yang jujur, yang ada cuma foto-foto manipulatif, hasil editan, yang wajah aslinya beda 12 megapixel dari kenyataan.
Jadi, mari kita jepret!, bukan cuma wajah, tapi juga sejarah, budaya, dan rasa. Karena siapa tahu, di tangan para fotografer lokal itu, kita bisa melihat Indonesia tak hanya lewat mata… tapi lewat hati.[***]