Sumselterkini.co.id, – Kalau hutan bisa ngomong, mungkin Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) bakal curhat sambil nangis di bawah bulan, “Aku dulu cantik, rimbun, rumah gajah dan harimau. Sekarang? Ditinggal gajah, diserbu sawit, dan dijadikan lokasi selfie para perambah”.
Kementerian Kehutanan memang sudah angkat suara “Tidak ada pembiaran terhadap aktivitas ilegal”. Tapi kita sebagai rakyat jelata yang lebih sering beli minyak goreng daripada duduk di sidang kabinet, tentu bertanya-tanya “Lho, sawit-sawit yang tumbuh subur itu datang dari mana? Nyasar? Ditanam peri hutan?”.
Jangan salah, Tesso Nilo bukan hutan sembarangan. Ini rumah kos mewah bagi gajah Sumatra dan harimau Sumatra yang makin sulit cari tempat tinggal. Tapi sayangnya, dari 81.793 hektar yang sah dicap sebagai kawasan taman nasional, cuma 24% yang masih hutan asli. Sisanya? Udah jadi apartemen liar buat kebun sawit dan perumahan yang nggak punya IMB alam.
Istilah kerennya ini bukan reboisasi, tapi “sawitisasi”.
Kalau pepatah bilang “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,”, maka banyak oknum justru memijak hutan, menjunjung sawit, dan memanen keuntungan pribadi. Hukum yang harusnya jadi pagar, malah kayak pagar rumah dinas bisa dibuka tutup sesuai kepentingan.
Untungnya, pemerintah nggak tinggal diam. Dari pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sampai penyitaan alat berat dan pemusnahan kebun sawit ilegal, semua itu ibarat jurus-jurus pamungkas ninja kehutanan yang selama ini mungkin cuma tampil di akhir episode.
Namun, jangan cuma berharap pada satgas dan operasi penertiban, karena kalau urusan hutan hanya diserahkan ke aparat, nasib TNTN bisa jadi seperti sinetron penuh drama, penuh konflik, dan tidak tamat-tamat.
Harus ada pendekatan dari hulu ke hilir, dari kopi pagi sampai nasi sore. Masyarakat lokal perlu diajak ngopi bareng, bukan dibentak-bentak. Mereka bukan musuh, mereka calon mitra pelestarian. Sekali-kali kasih pelatihan, bukan cuma razia. Ajak mereka tanam pohon, bukan tanam konflik.
Kita juga perlu dukung pendekatan berbasis pepatah “Hutan bukan ladang dagelan, jangan ditertawakan sambil ditebang”, kalau terus begini, lama-lama bukan cuma satwa yang punah, tapi juga nalar kita sebagai bangsa.
Mari belajar dari nasi goreng, enaknya karena ada perpaduan. Tesso Nilo juga bisa enak kelolaannya kalau ada perpaduan antara penegakan hukum, pelibatan masyarakat, dan keseriusan negara.
Jangan anggap hutan sebagai lahan nganggur yang bisa disulap jadi kebun pribadi. Itu seperti mengubah masjid jadi lapangan futsal tidak sopan dan tidak masuk akal. Tesso Nilo harus kembali jadi rumah untuk gajah, harimau, dan oksigen. Bukan jadi ladang bisnis semata.
Karena kalau gajah dan harimau bisa demo, mungkin mereka udah bikin spanduk besar “Kami Diusir, Sawit Disambut. Kami Satwa, Bukan Investor”, he..he.!!.[***]