Sumselterkini.co.id, – “Eh, kau lihat itu?” bisik Pak Hamid, pemilik warung kopi pinggir dermaga sambil melirik dua motor air yang baru sandar. “Biasanya kalau rakit kayu datang, cuma debur air yang ribut. Tapi kali ini, seragam cokelat datang bawa buku catatan”.
Begitulah pagi yang biasanya sunyi di tepi Sungai Pawan, Kabupaten Ketapang, mendadak jadi pentas teater hukum terbuka. Dua unit motor air ditangkap basah menarik rakit berisi kayu bulat, bukan sembarang kayu, tapi kayu jumbo tanpa “KTP”. Tak ada barcode, tak jelas asal-usulnya, cuma ditemani dokumen ecek-ecek yang kalau dibaca, bikin juru tulis pun bingung mau senyum atau nangis.
Ibarat orang jualan durian, cuma bawa kuitansi pembelian tape. “Ini durian legal, Pak, buktinya ini!” Lah, yang ditunjuk nota sayur. Ya ampun, ada-ada saja.
Ini bukan kisah baru. Di jagat per-kayu-an Indonesia, apalagi Kalimantan, rakit kayu ilegal sudah kayak sinetron yang tak pernah tamat. Tokohnya ganti, konfliknya itu-itu juga rakit tanpa legalitas, dokumen palsu, lalu drama tangkap-tangkapan. Tapi tetap ditonton banyak orang, bahkan ada yang jadi pemain tetap.
Kali ini, aktor utamanya dua pengemudi motor air AI dan ZL, usia kepala lima lewat, bukan bocah kemarin sore. Mereka menarik rakit bak bajak laut berpengalaman, bedanya mereka tak mencari harta karun, tapi justru membawa kayu ilegal yang bikin hukum jadi berkerut dahi.
Ironisnya, kayu-kayu itu mau diturunkan di TPK Industri PT. BSM New Material. Nah loh. Entah karena “new material”-nya baru, atau memang belum sempat belajar new legalitas, yang jelas pihak perusahaan ikutan diangkut buat ditanyain, “Ini kayu siapa, darimana, kok nggak punya SIM?”.
Modus kayak gini sebetulnya klasik. Ibarat maling yang pakai seragam satpam supaya nggak dicurigai. Kayu ilegal dimasukkan ke sistem legal pakai dokumen penyamar. Surat Keterangan Sah Hasil Hutan Kayu Bulat (SKSHHKB) yang ditunjukkan cuma memuat 5 batang, padahal kayu yang ditarik ada 76 batang. Hadeh. Selisih 71 batang, itu bukan salah ketik, itu salah niat.
Kita mungkin bisa maklum kalau anak SD salah jumlah bawa pensil, tapi kalau sudah level industri salah jumlah kayu segede gaban, itu mah niat nyeleneh. Seperti kata pepatah nenek moyang “Kalau salah hitung uang koin bisa dimaafkan, tapi kalau salah hitung kayu gelondongan, itu ngelawak namanya”.
Fenomena ini nggak cuma di Sungai Pawan. Sungai Mahakam di Kalimantan Timur pernah punya kasus serupa. Sungai-sungai lain yang mestinya jadi urat nadi perdagangan legal, malah dijadikan jalan tol oleh mafia kayu. Mirip seperti jalan tikus tapi lewat sungai besar, rakit kayu bisa lewat karena pengawasan minim, atau karena mata petugas kadang bisa ‘beliin kopi’.
Contoh yang sama pernah terjadi di Papua, di mana kayu merbau yang langka bisa terbang ke luar negeri dengan dokumen yang entah datang dari negeri dongeng. Bahkan sempat ada investigasi internasional, hasilnya, dunia tahu kita punya hutan lebat tapi hukum yang masih bisa ditembus pakai surat sakti.
Langkah Kemenhut bersama Gakkum Wilayah Kalimantan patut diacungi jempol kalau perlu seluruh jari. Ini langkah penting, meski terlambat lebih baik daripada membiarkan rakit-rakit kayu itu lewat macam parade tahunan.
Seperti kata Dirjen Penegakan Hukum, Dwi Januanto kalau dibiarkan, perusakan hutan bukan hanya soal kerugian negara, tapi juga ancaman bagi kehidupan manusia. Iklim makin panas, banjir makin sering, longsor makin doyan mampir. Padahal hutan kita ini andalan dunia buat FOLU NET SINK 2030, komitmen internasional yang seharusnya dijaga, bukan cuma dipajang di power point seminar.
Kini dua pengemudi dan seorang pihak industri sedang diperiksa, kayu diamankan, dan motor air dijadikan barang bukti. Tapi kita tahu, ini baru ujung gergaji. Kalau cuma pengangkut yang diseret, sementara pemilik kayu, pengatur dokumen, dan dalang di balik layar bebas jalan-jalan ke Bali, ya ini kayak nonton film horor tapi cuma nangkep figuran—pemeran utama belum ditangkap.
Seperti kata bijak khas Kalimantan “Kalau buaya masih bebas, jangan puas cuma nangkep ikan sepat”.
Penegakan hukum di sektor kehutanan harus total, karena hutan bukan hanya kumpulan pohon, tapi rumah bagi udara kita, penahan banjir, tempat hidup flora-fauna, dan sumber rezeki bagi generasi nanti. Jangan sampai hutan kita tinggal cerita, tinggal nama di lagu “Rayuan Pulau Kelapa”.
Kita semua punya PR. Bukan cuma aparat, tapi masyarakat, industri, hingga pembuat kebijakan. Harus ada sistem transparan, pengawasan digital real-time, dan yang paling penting komitmen untuk berkata tidak pada kayu ilegal meskipun menggiurkan.
Jangan sampai hukum kehutanan kita hanya galak di pinggir sungai tapi tak bisa melawan gelombang besar jaringan gelap di belakang layar. Rakyat menaruh harap, agar setiap batang kayu yang ditebang punya cerita yang sah, bukan aib yang dibungkus dokumen palsu.
Dan terakhir, ingat pesan tukang ojek di Ketapang, yang suatu sore nyeletuk sambil ngopi.Hutan kita bukan supermarket, jangan diobral apalagi digelapkan, kalau mau untung, cari bisnis lain. Jangan tebang masa depan demi dompet yang sebentar tebal”.[****]