KAKI langit Pulau Lombok, Gunung Rinjani berdiri seperti bapak tua yang penuh karisma gagah, sakral, sekaligus menantang. Ia bukan sekadar tumpukan batu dan kabut, tapi panggilan spiritual bagi ribuan pendaki, dari lokal hingga mancanegara. Namun kali ini, Rinjani sedang bersedih, langkah seorang pendaki wanita asal Brasil, JDSP (27), terhenti tragis di Cemara Nunggal, dan gunung pun ikut berduka.
Pendakian dari Pelawangan 4 Sembalun menuju puncak Rinjani ditutup sementara, bukan karena gunungnya sedang batuk atau kabutnya sedang galau, tapi karena satu nyawa sedang berjuang untuk dipulangkan. Bukan pulang ke bawah tenda, tapi pulang dalam arti sebenar-benarnya, kembali ke tanah kelahiran, mungkin dengan luka, mungkin dengan kenangan yang membekas dalam.
Kalau biasanya pendaki saling mendahului demi ngejar sunrise di puncak, kali ini semua berhenti, diam. Memberi ruang bagi tim evakuasi karena yang sedang naik ke atas bukan lagi rombongan selfie pakai tongkat tripod, tapi para relawan yang membawa harapan. Harapan agar JDSP ditemukan, dievakuasi, dan kembali bisa mencium udara datar setelah lama bergulat dengan medan menanjak.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Yarman Wasur, tegas dan tenang dalam suaranya. “Ditutup sampai waktu yang belum ditentukan”.
Kalimat yang terdengar sederhana, tapi penuh beban, karena di balik penutupan itu, ada puluhan orang dengan nyawa di ujung tali, menggantungkan tubuh mereka di tebing dan ranting, menembus jalur yang bahkan burung pun ogah lewat saat hujan.
Kalau Rinjani diibaratkan seperti cinta pertama, maka jalur dari Pelawangan 4 ke puncak itu seperti rayuan terakhir indah tapi licin, dan JDSP, si petualang dari negeri samba, datang bukan untuk menjadi headline, tapi untuk merasakan napasnya Rinjani. Sayang, semesta punya cerita lain.
Menteri Kehutanan, Raja Antoni, sampai harus jadi koordinator dadakan ala wartawan lapangan, beliau mengaku pagi-pagi buta udah nelfon sana-sini, dari Kepala Basarnas sampai Kapolda. Bahkan Gubernur NTB katanya standby 3 helikopter, kayak lagi siapin konser dadakan buat evakuasi. Total 4 heli dikerahkan, ini bukan sinetron, tapi nyata misi kemanusiaan bertaruh di lereng 3.726 meter di atas permukaan laut.
Dan sementara JDSP belum kembali ke pangkuan ibunya, para pendaki lain diajak untuk berhenti, bukan karena gunung marah, tapi karena solidaritas karena sesekali dalam hidup, kita mesti belajar bukan hanya mendaki, tapi juga menunggu memberi jalan pada yang sedang melewati ujian lebih berat.
Gunung, seperti hidup, selalu menyisakan misteri. Hari ini bisa cerah dan bersahabat, besok bisa jadi labirin bahaya. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang membuat semua ini layak diceritakan rasa kemanusiaan bahwa dari pucuk Rinjani hingga ke kantor Basarnas, semua sedang mengulurkan tangan.
Dan kita?, mungkin bisa membantu dengan hal paling sederhana mendoakan. Atau jika sedang di Rinjani, cukup berhenti sejenak, menatap kabut, dan berkata dalam hati “Selamat jalan, semoga langkahmu pulang masih panjang, bukan berakhir di sini”.
Karena setiap pendaki sejatinya bukan sedang menaklukkan gunung, tapi sedang berdamai dengan dirinya sendiri, dan JDSP telah mengajari kita bahwa keberanian sejati bukan hanya soal sampai puncak, tapi tentang bagaimana bertahan, bahkan saat harus turun.
Semoga langkahmu lekas pulang, wahai si penjelajah dari Brasil. Rinjani masih menunggu ceritamu yang belum selesai.[***]