Ekonomi

Fesyen & Kriya Indonesia Mendunia, Pasar Baru Tembus Swiss hingga Jepang

ekraf

SELAMA ini kita sering dengar pepatah, “tak kenal maka tak sayang”, maka dunia luar sedang mulai kenal, dan sayang berat, produk kreatif Indonesia. Bukan cuma sepatu, tas, dan batik yang biasa dijual di pasar lokal, tapi fesyen, kriya, dan kuliner kita kini mulai ngegas ke pasar Internasional yang sebelumnya hanya dianggap “dunia orang kaya,” seperti  Swiss, Jepang, dan Uni Emirat Arab (UAE). Ibarat ayam kampung yang tiba-tiba jadi selebgram, produk kreatif Indonesia kini punya penggemar setia di luar negeri.

Menurut data terbaru Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf), ekspor subsektor ekraf pada Semester I 2025 didominasi oleh fesyen dengan nilai USD 7,09 miliar, kriya USD 5,01 miliar, dan kuliner USD 767 juta.

Lonjakan ekspor ke negara-negara seperti Swiss, Jepang, dan UAE meningkat mulai dari 5,7 persen hingga 19,14 persen, ini bukan sekadar angka, melainkan tanda bahwa dunia mulai melirik Indonesia dengan mata berbinar-binar.

Kalau dulu produk kriya kita hanya dikenal di pasar tradisional, sekarang mereka sudah seperti superhero yang punya cape dan terbang menembus langit global. Bayangkan saja tas rajut dari tangan dingin perajin Bali, yang dulu cuma buat ibu-ibu belanja di pasar desa, kini menghiasi butik eksklusif di Tokyo. Fesyen batik yang dulunya jadi baju kerja kantor, kini dipamerkan di Swiss Fashion Week. Ibarat pepatah lama, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, tapi kali ini buahnya diterbangkan pesawat ke seluruh penjuru dunia.

Fenomena ini juga membuktikan bahwa kreativitas lokal bisa bersaing dengan brand Internasional, produk kriya dan fesyen Indonesia bukan hanya cantik di mata, tapi juga cerdas di kantong, karena banyak produk yang mengusung konsep sustainable fashion atau artisan product.

Artinya, mereka tidak merusak lingkungan, tetap unik, dan punya cerita di balik setiap jahitan, persis seperti lagu lama yang selalu bikin kangen, tapi kali ini versi ekraf global.

Sekarang, mari kita bahas strategi pasar, ada pepatah bijak, “jangan taruh semua telur di satu keranjang”. Nah, strategi ekspor Indonesia ke Swiss, Jepang, dan UAE ini ibarat mulai membagi telur ke keranjang yang berbeda-beda, supaya kalau satu pasar lagi kena badai ekonomi, telur yang lain tetap aman.

Diversifikasi ekspor ini penting, karena dunia tidak pernah stabil. Tren konsumsi bisa berubah secepat angin di musim hujan, dan selera pasar Internasional kadang lebih cepat galau daripada drama sinetron. Dengan menembus berbagai negara, produk kreatif Indonesia punya kesempatan lebih besar untuk dikenal, dicintai, dan kembali dijadikan rujukan bagi tren global.

Fesyen dan kriya Indonesia itu punya DNA unik, perpaduan budaya, kearifan lokal, dan sentuhan modern, produk artisan kita bisa menembus pasar Swiss yang terkenal dengan standar kualitas tinggi, Jepang yang sangat menghargai estetika, dan UAE yang doyan produk mewah eksklusif. Jadi, kita tidak cuma jual barang, tapi juga menjual cerita, budaya, dan nilai seni Indonesia ke dunia.

Seandainya, jika produk kriya Indonesia punya akun media sosial sendiri, tas rajut Bali pasti bikin caption, “Aku nggak cuma cantik, aku juga ramah lingkungan, dan aku bisa bikin hatimu meleleh seperti es krim panas di Jakarta!”. Sementara batik tulis Solo mungkin bilang, “Aku bukan cuma baju kerja, aku punya cerita ribuan titik yang bikin dunia terpesona.”

Dengan humor seperti ini, kita bisa memikat hati konsumen global, karena dunia sekarang suka produk yang punya storytelling, bukan sekadar barang, kreativitas dan sedikit banyolan bisa menjadi senjata ampuh menembus pasar yang kompetitif.

Dar Fenomena ekspor ini, jangan pernah meremehkan kekuatan kreativitas lokal, jika dikelola dengan strategi yang tepat dari diversifikasi pasar, kualitas produk, hingga storytelling, produk kreatif Indonesia bisa jadi duta budaya sekaligus mesin ekonomi.

Kalau diibaratkan pepatah, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, kini para pelaku kreatif kita sedang menikmati buah kerja keras mereka, dari membuat kerajinan tangan di desa hingga menembus pasar Internasional, perjalanan ini membuktikan bahwa kualitas dan inovasi akan selalu menemukan jalannya.

Diversifikasi ekspor bukan sekadar strategi bisnis, tapi juga misi nasional, memperkenalkan Indonesia ke dunia melalui produk kreatifnya. Fesyen, kriya, dan kuliner Indonesia kini punya panggung global, dari Swiss hingga Jepang, dari UAE hingga negara lain yang haus akan kreativitas unik.

Jadi, jangan heran jika suatu saat tas rajut atau batik tulis dari Indonesia menjadi hot topic di Instagram influencer Tokyo, atau chef di Dubai membicarakan bumbu rempah Nusantara. Semua ini membuktikan satu hal ekonomi kreatif bukan hanya soal angka, tapi soal budaya, inovasi, dan kebanggaan nasional yang bisa menembus batas negara.

Kalau ada yang tanya, “Apa rahasia ekspor ekraf sukses ke pasar internasional?” jawabannya sederhana kreativitas tanpa batas, strategi tanpa ragu, dan cerita yang bikin dunia tersenyum.[***]

Terpopuler

To Top