Ekonomi Digital

“Digital Kito Galo”, “Jangan Sampai Jadi Sekadar Selfie Bareng Robot & WiFi Gratisan”

Sumselterkini.co.id,- Kalau dulu orang bilang “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”, maka di era sekarang, digitalisasi tak bisa pakai prinsip itu lagi. Kalau telat, ya ketinggalan zaman, digilas algoritma, dan akhirnya cuma jadi penonton parade kemajuan dari pinggir jalan sambil ngunyah kerupuk ikan.

Nah, acara Digital Kito Galo 6th 2025 yang digelar di Palembang Indah Mall kemarin sebenarnya adalah langkah kece dari Pemprov Sumsel dan Bank Indonesia.

Ini seperti pengumuman bahwa kita, masyarakat Sumsel, harus mulai berani berpindah dari dunia ‘gope-gope’ ke dunia QRIS-QRIStal. Tapi, pertanyaannya, apakah acara ini beneran jadi tonggak perubahan, atau cuma jadi ajang buat selfie bareng booth digital dan nungguin live music sambil nyruput es kopi gula aren?

Sekda Sumsel, Pak Edward Candra, sudah tegas bilang bahwa digitalisasi bukan pilihan, tapi keharusan. Betul! Tapi jangan sampai ini hanya jadi keharusan yang diomongin di panggung, sementara di desa sinyalnya masih ngumpet kayak mantan pas liat kita sukses.

Kalau kita bicara soal transformasi digital, mari kita ngaca dulu ke kota-kota yang udah duluan loncat ke dunia digital, tengok Surabaya dengan command center-nya, begitu pula Banyuwangi yang bikin layanan publiknya digital sampai ke tingkat RT.

Bahkan negara kecil macam Estonia aja bisa bikin hampir semua layanan pemerintah dari urusan nikah sampai ngurus SIM bisa lewat HP, padahal negara mereka dingin terus, sinyal bisa beku, tapi tetap digitalnya maju.

Pertanyaannya kenapa mereka bisa? karena mereka tidak hanya membangun teknologi, tapi juga membangun mindset, di Sumsel kadang mindset kita masih nyari colokan listrik dulu sebelum nyari sinyal digital.

Ajakan untuk UMKM naik kelas lewat digitalisasi itu bagus. Tapi naik kelas itu butuh guru, bukan cuma spanduk dan stiker bertuliskan “UMKM Go Digital!”. Misalnya kalau pedagang pempek disuruh bikin akun marketplace tanpa dikasih pelatihan, nanti yang dijual bisa-bisa malah foto kucing tetangganya.

Solusinya? Ya edukasi yang sabar dan bertahap, gandeng komunitas, kampus, dan anak muda yang kreatif buat bantu UMKM, jangan cuma bikin talk show di mall yang isinya bahasa langit. Warga butuh praktik, bukan teori!

Jangan lupakan juga desa-desa, jangan sampai Digital Kito Galo hanya kedengeran sampai parkiran PIM sementara di desa, orang masih mikir “QRIS itu merek helm ya?”.

Setidaknya butuh sinergi, kalau perlu, adain roadshow digital keliling desa kayak dangdutan, tapi isinya edukasi transaksi aman, literasi digital, dan ajari emak-emak cara belanja online tanpa ketipu diskon palsu. Bisa juga disisipi hiburan rakyat dan hadiah menarik, biar acara tak sekaku undangan mantu pejabat.

Penobatan Ketua TP PKK Sumsel jadi Duta Perlindungan Konsumen itu menarik. Tapi semoga bukan hanya gelar seremonial yang cuma dipakai waktu acara formal. Edukasi konsumen itu penting, apalagi makin banyak orang yang rela ngutang demi beli barang di e-commerce yang kadang tak sesuai gambar. “Foto bunga matahari, yang datang biji ketumbar.”

Duta Konsumen

Perlu gerakan konkret dari Duta Konsumen, misalnya kampanye ke sekolah dan pasar, bikin short video edukasi transaksi aman, dan terjun langsung ke masyarakat. Jangan sampai tugasnya hanya muncul di banner dan standing banner.

Kayak kata Jack Ma, pendiri Alibaba, “You need the right people with you, not the best people.” Artinya?  nggak butuh superman buat digitalisasi, tapi butuh orang-orang biasa yang mau belajar, berubah, dan kompak bikin gerakan digital dari bawah.

Atau kata Steve Jobs, “Innovation is saying no to a thousand things.” Maka jangan cuma bikin banyak acara, tapi fokus ke yang berdampak. Jangan bikin digitalisasi jadi lomba pencitraan, tapi jadikan ia alat untuk bantu rakyat.

Digital Kito Galo 2025 adalah langkah baik perlu diapreasi dan acungan jempol, namun jangan sampai jadi acara tahunan yang makin mewah, tapi isinya makin jauh dari rakyat.

Digitalisasi bukan hanya soal robot menari dan VR untuk selfie, tapi tentang mengubah hidup masyarakat jadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih adil.

Mari kita ubah mindset dari hanya jadi penonton ke jadi pemain, dan hanya jangan bangga pakai HP mahal, dan bangga tapi gak ngerti fungsi keamanan digital. Ingat pepatah “Sekali layar terkembang, jangan lupa update aplikasi.”, he..he..,  karena kalau layar sudah dikembangkan, tapi aplikasinya masih 2019, kita bisa karam juga di tengah ombak teknologi. Digital bukan hanya kito galo, tapi kito jalani bareng-bareng.

Digitalisasi di Sumsel juga jangan cuma jadi gemerlap acara tiga hari di mall, lalu senyap di hari keempat. Jangan seperti pesta kawinan yang megah, tapi setelahnya piring-piring kotor ditinggal di belakang tenda.

Semangat digitalisasi itu harus terus mengalir, dari panggung PIM sampai ke panggung kehidupan masyarakat, dari WiFi gratisan ke literasi digital yang bikin rakyat makin cerdas, bukan makin candu nonton video prank.

Kalau Sumsel mau jadi provinsi digital, maka digitalisasi jangan cuma ditumpahkan ke kota, tapi dialirkan juga ke desa. Jangan hanya bikin aplikasi kalau rakyat belum punya akses internet. Jangan minta UMKM jualan online kalau sinyal masih naik turun kayak mood mantan pas liat kita sukses.

Lebih jauh lagi, mari kita renungkan apalah arti QRIS kalau emak-emak masih takut nyentuh HP karena khawatir pulsa kesedot iklan?. Apalah arti Duta Konsumen kalau masyarakat masih gampang tergiur diskon 99% tapi barang tak pernah datang?

Digitalisasi adalah perjalanan bukan sprint, tapi maraton, butuh strategi, bukan hanya semangat. Butuh kontinuitas, bukan sekadar ceremonialitas. Terakhir, mari kita ubah jargon dari yang biasa menjadi luar biasa “Digital Kito Galo, tapi ojo nganti Galo kito digitalnya…”

Karena kalau kita lalai, bisa-bisa Sumsel hanya jadi penonton di panggung revolusi digital, sementara provinsi lain sudah joget-joget pakai kacamata AR sambil bayar cilok pakai e-wallet tanpa ribet.[***]

Terpopuler

To Top