Parlemen

Di Balik Angka, Terselip Asa Rakyat

ist

Sumselterkini.co.id,- Di tengah ruangan Gedung DPRD Sumsel yang dinginnya bisa bikin kopi jadi es, Gubernur H. Herman Deru berdiri tegap menyampaikan paparan seolah sedang membaca resep masakan istimewa. Tapi ini bukan sembarang resep. Ini resep keuangan daerah yang bahan-bahannya bukan garam dan cabai, melainkan angka-angka yang harus ditakar cermat, belanja yang harus dikocok rata, dan pendapatan yang harus diulek sampai halus agar tidak ada yang keasinan atau kemanisan.

Pada Rapat Paripurna XV DPRD Sumsel, Selasa (11/6/2026), Herman Deru tampil bukan hanya sebagai kepala daerah, tapi juga sebagai “kepala dapur keuangan” yang menjamin bahwa masakan APBD 2024 dimasak tanpa boros gas, tak ada yang gosong, dan tidak ada bahan yang mubazir.

“Optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja,” katanya. Kalimat itu mengalir seperti nasihat nenek kepada cucunya yang baru belajar masak jangan kebanyakan santan, nanti eneg.

Ia menjabarkan bahwa Pemprov Sumsel akan menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti petani memacu hasil panen dengan strategi tanam modern alias reformasi pengelolaan kekayaan daerah, penggunaan aset yang mangkrak agar produktif, hingga membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang bukan hanya melayani, tapi juga menghasilkan.

Kalau keuangan daerah itu seperti ladang, maka ia  sedang menyusun irigasi, menentukan pola tanam, dan menghindari hama anggaran yang biasa sembunyi di balik kegiatan perjalanan dinas atau konsultasi keluar daerah yang hasilnya kadang cuma oleh-oleh kaos oblong.

Yang menarik, strategi penghematan belanja daerah tak sekadar wacana. Ia berjanji akan fokus pada program prioritas, bukan proyek asal ramai. Ibarat mau masak rendang, ya dagingnya yang banyak, bukan daun salamnya.

“Program yang benar-benar memberikan hasil nyata,” ujarnya dengan mimik serius, karena menurutnya, tak ada gunanya APBD sebesar gunung kalau dampaknya ke masyarakat cuma setinggi bukit pasir.

Laporan keuangan pun disusun bak rapor anak sekolah yang dibawa ke wali kelas ada laporan realisasi, neraca, laporan operasional, hingga arus kas yang harus jernih, bukan arus deras yang menenggelamkan pertanggungjawaban.

Ketua DPRD Sumsel, Andie Dinialdie, yang duduk seperti wasit catur sambil mencatat dengan saksama, menyambut baik penjelasan tersebut. Menurutnya, isi laporan ini akan jadi bekal penting bagi fraksi-fraksi yang akan membedah lebih lanjut. “Selanjutnya akan disampaikan pandangan umum fraksi,” ujarnya sambil mengutip pasal-pasal yang bagi orang awam terdengar seperti mantra, tapi di tangan para anggota dewan, bisa jadi senjata debat sengit.

APBD adalah dapur bersama, kalau salah satu tukang masak nambah garam kebanyakan, semua akan kena darah tinggi. Kalau terlalu hemat minyak, nanti lauknya gosong. Gubernur Deru mencoba menyeimbangkan semua itu dengan strategi yang bukan hanya teknokratis, tapi juga manusiawi, karena ujung dari semua perhitungan itu adalah apakah rakyat makin sejahtera atau cuma dapat sisa nasi basi.

Sebagaimana pepatah tua yang masih relevan hari ini “Kepala boleh panas karena debat, tapi hati tetap dingin demi rakyat,”. Maka kita berharap, hasil akhir dari paripurna ini bukan cuma Perda yang sah, tapi juga keadilan anggaran yang terasa hingga ke warung kopi di pelosok desa. Dan semoga, di akhir tahun nanti, rakyat Sumsel bisa berkata “Masakan APBD tahun ini, enak juga ya”.

Selain itu, mengelola APBD bukan sekadar urusan menghitung uang seperti bendahara arisan. Ia adalah seni meramu prioritas, logika, dan nurani dalam satu wajan besar bernama pembangunan. Paparan dalam Rapat Paripurna XV kemarin menunjukkan bahwa Sumsel tak ingin lagi membumbui anggaran dengan rasa basa-basi. Pendapatan digenjot tanpa memeras, belanja dipangkas tanpa menyakiti. Aset yang tidur dibangunkan, layanan publik disulap agar tak hanya berfungsi, tapi juga berfaedah.

Namun seperti masakan di pesta hajatan, yang dinilai bukan hanya bumbunya, tapi juga siapa yang kenyang dan siapa yang hanya kebagian bau, oleh sebab itu publik menanti, apakah strategi ini akan benar-benar terasa di lorong pasar, di pelataran sekolah, hingga ke petani dan nelayan yang tak pernah hadir di rapat paripurna tapi selalu jadi sasaran dampaknya.

Karena seperti pepatah kampung yang entah siapa penciptanya “Anggaran yang baik bukan yang banyak angkanya, tapi yang banyak manfaatnya,”. Kini tinggal menunggu, apakah dari dapur keuangan Sumsel ini akan terhidang menu kesejahteraan… atau cuma sekadar cemilan birokrasi. [***]

Terpopuler

To Top