Kalau kampung nelayan cuma dicat merah putih doang, itu namanya renovasi mural, bukan transformasi ekonomi, tapi kalau nelayannya bisa senyum lebar karena dapur ngebul dan dompet kembung, barulah kita layak nyebut ini program pencerahan, bukan hanya pencitraan.
Inilah misi besar Kampung Nelayan Merah Putih, program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ibarat nelayan dapat kapal baru plus mesin 40 PK. Mantap dan berdaya saing bukan!
Bayangkan, kampung yang dulunya cuma ada perahu reyot dan tambak sepi, tiba-tiba punya sentra kuliner, balai pelatihan, pabrik es, hingga menara pandang. Kalau pepatah bilang, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan,” maka di Kampung Nelayan Merah Putih ini, “Di mana ada dermaga dan koperasi, di situ ada masa depan yang lebih pasti.”
Program ini adalah metamorfosis dari program sebelumnya, Kampung Nelayan Modern. Tapi jangan salah kaprah, ini bukan sekadar ganti nama kayak warung bakso ganti merek jadi “Bakso Sultan,” tapi tetap isinya kuah bening dan sambal saset.
Ini transformasi sistemik, mulai dari infrastruktur, pelatihan, sampai koperasi yang jadi tulang punggung ekonomi nelayan. Jadi, bukan cuma cat merah putih di dinding, tapi merah putih di isi dompet!
Trian Yunanda, Staf Ahli Menteri, sudah bilang dengan tegas syarat utama adalah kampungnya memang nelayan tulen, bukan nelayan Facebook yang posting hasil laut dari Google.
Harus 80% lebih penduduknya memang cari nafkah dari laut, lahannya pun harus clear and clean, jangan sampai dibangun pabrik es, eh besoknya digugat mantan pemilik tanah yang katanya masih warisan nenek buyutnya.
Contohnya sudah ada, seperti Desa Samber-Binyeri di Biak, Papua, dulu kampung itu mungkin hanya dikenal lewat peta atau cerita lisan, sekarang bisa jadi contoh nasional.
Ada pelabuhan, sentra produksi, bahkan ada potensi wisata bahari. Kampung nelayan jangan cuma jadi tempat orang cari ikan, tapi juga jadi tempat orang cari inspirasi. Ibarat Jepang dengan fishing village mereka yang bersih, rapi, dan produktif, kita pun bisa bikin versi Nusantara-nya.
Batam pun sudah dilirik, termasuk Kampung Tua Bagan dan Belakang Padang. Tapi ada tantangan juga, soalnya kampungnya literally di atas laut. Nah, ini perlu aturan yang fleksibel dan desain kreatif, masa Singapura bisa bangun Marina Bay di atas laut, kita cuma bisa bangun jembatan selfie?
Yang bikin kampung ini beda adalah sistem ekonomi yang terintegrasi lewat Koperasi Desa Merah Putih. Harapannya koperasi bukan cuma tempat simpan stempel dan kas bon kasihan, tapi benar-benar jadi jantung aktivitas ekonomi. Ibarat dapur rumah tangga, kalau api di koperasi padam, maka ekonomi kampung pun ikut masuk angin.
Ingat, program bagus tanpa partisipasi dan transparansi bisa jadi seperti jala bolong. niat nangkap banyak, tapi hasilnya bocor semua. Karena itu, keterlibatan pemda dan masyarakat lokal wajib hukumnya. Jangan sampai setelah dibangun, fasilitas jadi sarang kelelawar dan pos jaga jadi tempat tidur pak satpam pensiun.
Di Norwegia, kampung nelayan mereka dikembangkan jadi kawasan wisata edukatif, lengkap dengan kuliner laut, museum, dan pelatihan anak muda. Di Vietnam, banyak kampung pesisir kini jadi produsen ekspor perikanan terbesar di ASEAN. Sementara kita kadang masih sibuk debat tanah warisan dan siapa yang dapat jatah kios di TPI.
Sumber devisa
Kalau program ini dijalankan serius, kampung nelayan Indonesia bisa jadi sumber devisa dan model ekonomi lokal yang kuat. Tapi kalau cuma dibuka pakai gunting pita dan ditinggal seperti bekas pacar waktu lebaran, ya siap-siap jadi proyek mangkrak.
Kampung Nelayan Merah Putih adalah peluang besar, bukan hanya bagi nelayan, tapi juga untuk Indonesia membangun wajah maritim yang membanggakan. Tapi seperti nelayan yang bijak, jangan cuma lihat laut dari pantai. Harus berani mengarungi, membangun, dan menjaga agar hasilnya tidak hilang ditelan ombak birokrasi.
Pepatah bijak pernah bilang, “Jangan kasih kail pada orang yang tak mau belajar mancing.” Maka dari itu, Kampung Nelayan Merah Putih bukan hanya soal bangun gedung dan dermaga, tapi bangun mentalitas, sistem, dan kemandirian.
Mari kita kawal program ini. Jangan cuma dilihat saat peresmian, tapi juga diperiksa lima tahun lagi apakah nelayannya sejahtera, apakah anak-anaknya bisa sekolah tinggi, apakah lautnya tetap lestari? Kalau semua “iya,” maka itulah tanda Merah Putih-nya bukan hanya cat, tapi juga semangat yang membara!.
Sejatinya Program Kampung Nelayan Merah Putih adalah langkah berani untuk membalik peta kemiskinan pesisir menjadi peta harapan ekonomi maritim. Ini bukan sekadar proyek pembangunan, tapi investasi jangka panjang yang menyentuh langsung perut dan masa depan para nelayan. Di sinilah negara hadir bukan sebagai tamu, tapi sebagai kawan sebiduk. Kawan yang tidak hanya datang waktu panen udang, tapi juga waktu jaring sobek dan cuaca sedang gelap.
Namun, mari kita sadar membangun kampung nelayan itu bukan cuma soal membuat dermaga kinclong dan menara pandang setinggi cita-cita.
Yang lebih penting adalah memastikan ada kehidupan nyata di balik semua fasilitas itu, ada anak nelayan yang bisa sekolah tinggi, ada ibu-ibu pesisir yang bisa buka warung kuliner laut, ada koperasi yang benar-benar koperasi, bukan cuma papan nama dan tukang stempel.
Jangan sampai kampungnya bagus, tapi ikannya dibeli tengkulak dengan harga nyaris semurah ucapan “makasih.” Jangan juga koperasi hanya aktif saat pengambilan bantuan, lalu vakum seperti boyband 90-an. Harus ada ekosistem ekonomi yang hidup, berputar, dan tumbuh. Harus ada rasa memiliki dari warga, bukan hanya rasa menonton.
Dan yang tak kalah penting, mari pastikan agar program ini tak berhenti sebagai proyek percontohan yang viral saat peresmian, tapi lalu sepi pemberitaan setelah musim pemilu lewat.
Mari kawal agar ia menjadi sistem yang berkelanjutan, yang menjadikan laut bukan hanya halaman belakang, tapi ruang tamu masa depan bangsa, sebab bangsa bahari sejati bukan yang punya laut luas saja, tapi yang tahu cara mengelola dan menyejahterakan warganya dari laut tersebut.
Kalau semua berjalan sesuai cita-cita, maka kelak kita tak lagi mendengar kisah nelayan yang kesulitan es batu, tak paham harga pasar, atau terjerat utang harian. Tapi justru akan muncul cerita-cerita inspiratif tentang anak nelayan yang kuliah di jurusan perikanan, tentang kampung pesisir yang menjadi destinasi wisata edukatif, dan tentang laut yang tak hanya memberi ikan, tapi juga martabat.
Karena sejatinya, Merah Putih itu bukan sekadar kain yang berkibar di tiang dermaga, tapi semangat hidup yang berkibar di hati mereka yang tiap hari menyapa matahari dari batas cakrawala.[***]