DI tengah riuhnya kampanye digitalisasi, startup unicorn, dan kecerdasan buatan yang makin pintar dari anak kosan, ada lima desa di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel, yang baru akan kenalan sama si listrik. Iya, listrik. Bukan WiFi, bukan sinyal 5G, tapi si arus dua kabel yang sering kita maki-maki kalau padam lima menit.
Desa Lubuk Bintialo, Pangkalan Bulian, Sako Suban, Muara Merang, dan Mangsang, akhirnya akan mendapat hak paling dasar di zaman modern ini terang benderang di malam hari.
Setelah ngetok pintu regulasi dan izin kehutanan yang katanya lebih ribet dari urusan lamaran dengan calon mertua, akhirnya Pemkab Muba dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel resmi menandatangani perjanjian untuk memasang jaringan distribusi listrik di kawasan hutan.
Sebetulnya, ini bukan soal kabel dan tiang. Ini soal bagaimana rasa keadilan itu akhirnya nyetrum juga ke wilayah yang selama ini dianggap terlalu jauh, terlalu hutan, dan terlalu “nanti sajalah.” Seperti kata pepatah, “Bagai pelita di tengah rimba, lambat tapi akhirnya menyala”
Bayangkan, saat dunia berlomba-lomba menciptakan mobil terbang dan kopi dari kapsul yang bisa dipesan lewat jam tangan, masih ada warga negeri ini yang malamnya ditemani pelita dan suara jangkrik, bukan kipas angin atau Netflix.
Sudah puluhan tahun bahkan konon sejak zaman Belanda masih pakai topi bundar dan membawa peta rempah lima desa ini hidup dalam kegelapan. Kadang memang, keadilan di negeri ini datangnya kayak angkot sering ngetem, suka belok mendadak, tapi syukurnya kali ini tetap datang.
Bandingkan dengan negara tetangga di Vietnam, ada program “Energizing the Remote” sejak tahun 2000 yang berhasil menyambungkan listrik ke desa-desa terpencil lewat energi terbarukan.
Di Flores, Indonesia sendiri, ada program PLTS Komunal yang sejak 2016 sudah menyinari desa-desa terpencil bahkan tanpa harus menyentuh hutan. Artinya, bukan tak mungkin, tapi kadang kita lebih suka muter-muter dulu seperti sopir ojek yang pakai GPS tapi tetap nanya alamat.
Patut diapresiasi perjuangan Pemkab Muba dan seluruh pihak yang terlibat. Proses ini bukan seperti memesan mi instan, tiga menit langsung jadi. Ini lebih seperti merebus singkong pakai tungku kayu pelan, penuh asap, dan butuh kesabaran. Tapi hasilnya kenyang juga.
Kalau boleh pakai perumpamaan, lima desa ini bagaikan anak-anak sekolah di pojok kelas yang akhirnya diperhatikan gurunya. “Oh iya, kamu belum dapat listrik ya? Maaf ya, kemarin-kemarin sibuk nyusun kurikulum,” kira-kira begitu.
Sekda Muba Dr Apriyadi pun menyebut ini tonggak sejarah. Betul. Karena listrik bukan cuma soal terang, tapi juga pendidikan malam hari, ibu-ibu bisa masak pakai rice cooker, dan bapak-bapak bisa nonton tinju atau sinetron malam tanpa takut kehabisan minyak tanah.
Langkah ini harus jadi inspirasi bagi daerah lain bahwa pembangunan tidak hanya berputar di kota dan pinggir jalan tol. Bahwa desa di tengah hutan pun berhak atas terang, bukan sekadar janji dan proposal yang hilang di antara tumpukan kertas.
Sekarang, tinggal bagaimana listrik ini tidak cuma sampai, tapi juga berfungsi. Jangan sampai kabel sudah masuk, tapi tiangnya roboh dimakan rayap. Jangan pula gardu sudah berdiri gagah, tapi belum ada yang nyalain saklar.
Karena pada akhirnya, seperti kata orang tua “Di mana ada cahaya, di situ harapan tumbuh”, dan lima desa ini, akhirnya bisa menanam harapan itu dengan terang. Selamat datang, listrik. Selamat tinggal, lampu templok dan senter pakai batu baterai bekas remote TV.[***]
