“Berpuisilah. Karena dengan berpuisi, manusia yang lain mampu mengerti bahwa semua perasaan yang ada, tak selalu perlu dipahami.”
KUTIPAN di atas merupakan salah satu ucapan dalam memperingati Hari Puisi Sedunia. Di Indonesia, membicarakan puisi pasti tidak terlepas dari nama Chairil Anwar. Seperti membicarakan prosa, akan dikaitkan dengan Idrus. Karya-karya puisi Chairil mulai lahir semenjak pendudukan Jepang di Indonesia, tahun 1942, yakni puisi berjudul Nisan dan Penghidupan. Dari siswa sekolah dasar hingga mahasiswa di perguruan tinggi masih sering mengapresiasi karya-karya Chairil dari sudut pandang masing-masing. Perlombaan baca puisi pun sering mengangkat puisi karyanya, seperti puisi yang sangat fenomenal “Aku”.
Setelah kedatangan penjajah Jepang, bahasa Belanda pun digantikan dengan bahasa Jepang. Namun, masih berproses sehingga dalam masa peralihan bahasa tersebut Pemerintah Jepang membentuk Komite Bahasa Indonesia, salah satu pengurusnya Sutan Takdir Alisjahbana. Kondisi ini menguntungkan perkembangan bahasa Indonesia dan mulai mendapat respons positif dari para penyair pada masa itu, termasuk Chairil. Akan tetapi, Chairil tidak puas dengan kosakata bahasa Indonesia yang masih sangat terbatas, rujukan pembendaharaan kosakata dari sajak-sajak Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Beruntung ia mempunyai akses untuk mendapatkan referensi sastra-sastra dunia.
Chairil mulai menambah vitalitas menulis puisinya sejak tahun 1943 atau setahun setelah pendudukan Jepang di Bumi Pertiwi. Walaupun begitu, tetap saja tulisan-tulisannya disensor terlebih dahulu oleh Jepang sebelum diterbitkan. Karena pemerintah Jepang menganggap puisi Chairil mengobarkan api perlawanan terhadap mereka. Apalagi puisi Diponegoro yang mengiaskan tentang semangat perjuangan seperti sebait kutipannya, Di depan sekali tuan menanti, Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati. Semangat perjuangan inilah yang sangat ditakuti oleh penjajah pada masa itu. Oleh karena itulah, puisi-puisi yang ditulisnya sangat susah untuk lolos sensor dari Jepang. Kecuali, ia berusaha menjelaskan puisinya yang tak dimaksudkan untuk menghasut perlawanan terhadap Jepang. Kecerdasan penyair terkenal dengan julukan Aku ini binatang jalang dalam mengolah bahasa juga dapat memperdaya Jepang. Agar lolos dari sensor Jepang, ia mengganti judul puisi Aku dengan Semangat.
Sikap hidup yang selalu bertualang menggambarkan Chairil adalah ciri seorang seniman. Keidentikan gambaran seorang seniman yang luas pengembaraan imajinasinya. Berbeda dengan seniman pada masanya, ia merupakan penyair muda meletup-letupkan idenya untuk perjuangan revolusi kemerdekaan. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh kemerdekaan yang lebih tua dari dari dia, mempertajam tulisan-tulisannya menyikapi kemerdekaan. Apalagi ia masih mempunyai ikatan keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia turut menggodok jiwa kemerdekaannya.
Begitu pun dengan Presiden RI pertama, Soekarno, ia menuliskan puisinya yang berjudul Persetujuan dengan Bung Karno. Walau tak tersurat, ia ikut memperjuangkan nasib kemerdekaan dengan menyatakan seiring sejalan dengan Bung Karno, seperti sebait penggalan puisinya Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat. Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar. Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh. Dari tulisan tersebut dapat dimaknai bahwa Chairil sangat bersemangat untuk bersama-sama dengan Bung Karno membawa kemerdekaan yang telah diraih menuju lebih baik.
Sebenarnya, ia adalah anak orang kaya. Bapaknya seorang bupati Inderagiri, Riau. Namun, ia lebih suka hidup bohemian di kota besar, seperti Jakarta. Karena cita-citanya ingin menjadi seorang penyair hebat mengharuskannya untuk berpetualang hidup di Jakarta. Ketiadaan uang dan hidup pas-pasan tetap tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berkarya.
Gaya hidupnya yang vitalitas membuat puisi-puisinya tampil beda. Ke-jalang-an inilah seperti yang diungkapkannya Aku ini binatang jalang, Dari kumpulannya terbuang, membuat ia menggambarkan sesosok seniman pemberani, hebat dalam mendobrak norma bahasa yang biasa digunakan oleh sesama sastrawan di zamannya. Bahkan, dengan lantang ia mengumumkan Aku mau hidup seribu tahun lagi. Kata-kata terakhir ini menunjukkan kepercayaan dirinya sangat besar terhadap karya-karyanya akan abadi menembus batas zaman. Ia terus berkarya meskipun keadaan negeri masih belum stabil pada waktu itu.
Selain bahasa yang menggebu-gebu mengobarkan semangat, Chairil punya sisi romantis dalam tulisannya. Puisi yang berjudul Penerimaan menggambarkan cintanya sangat dalam terhadap perempuan idamannya, tetapi tak berani diungkapkannya. Melalui puisilah ia melukiskan isi hatinya terhadap kekasihnya tersebut, seperti sebait penggalannya, Kalau kau mau kuterima kau kembali. Dengan sepenuh hati. Aku masih tetap sendiri.
Seiring perjalanan waktu, di akhir-akhir hidupnya, puisi-puisi Chairil sudah mulai bertambah matang maknanya. Pemilihan diksinya tidak lagi menyuarakan semangat revolusi. Ia lebih dewasa memahami kehidupan. Puisi berjudul Derai-Derai Cemara memberikan arti filosofi yang mewarnai kehidupannya. Pilihan bahasanya, seperti kutipan salah satu karyanya ini adalah hidup hanya menunda kekalahan mengisyaratkan akhir dari kehidupannya. Kalau dimaknai, kita semua akan kalah atau berakhir. Namun, akhir dari kehidupan itu yang belum ditunjukkan oleh Yang Maha Memberi Hidup. Belum sampai janji kita terhadap Tuhan. Itu pertanda diberikannya kesempatan kepada kita untuk merubah diri ke keadaan diri yang lebih baik.
Akhirnya, pilihan bahasa yang digunakan Chairil Anwar membuat puisi-puisinya tidak pernah habis untuk dibicarakan, baik untuk dianalisis ataupun dilombakan dalam pembacaan puisi. Semangat kebahasaan Chairil menjadi penggerak penggali bahasa-bahasa Indonesia yang lebih dalam dan maju menembus dunia baru, dunia maya. Dunia yang penuh ke-jalang-an. Semangat inilah yang memacu para sastrawan guna terus menghasilkan karya-karya fenomenal. Selaras dengan kutipan puisinya Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Selamat Hari Puisi Sedunia.
Dr. Darwin Effendi, M.Pd.
Penulis adalah Dosen Universitas PGRI Palembang