Ekonomi

“Cabai Naik, Dompet Menjerit, Akhirnya Rakyat yang Puasa Duluan!”

ist

HARGA cabai merah belakangan ini udah kayak sinetron Ramadan  penuh drama, bikin deg-degan, dan selalu naik menjelang tanggal tua. Emak-emak di pasar mulai hafal kalau harga cabai tembus Rp80 ribu, artinya bukan cuma sambal yang pedas, tapi juga emosi suami di rumah, separuh upah harian buruh informal. Mau beli beras atau cabai?.

Sementara itu, di sisi lain layar Zoom, pejabat-pejabat kita juga gak kalah sibuk. Sekda Sumsel, H. Edward Candra, ikut Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Daerah 2025 bareng Kementerian Dalam Negeri. Rapatnya daring, tapi topiknya panas, gimana caranya biar harga bahan pokok gak terus bikin rakyat senam jantung tiap belanja sayur.

Sekjen Kemendagri, Komjen Pol Tomsi Tohir, bahkan udah wanti-wanti, “Cari tahu penyebab inflasi, jangan cuma catat angkanya!”
Kalimatnya sederhana, tapi dalem, bro. Soalnya selama ini, kalau harga naik, laporan cepat disusun, rapat cepat digelar, tapi harga di pasar masih aja naiknya lebih cepat dari doa.

Di lapangan, rakyat bukan sibuk nyusun data, tapi sibuk nyari cabai yang masih waras harganya. Kadang harga beras naik, bawang merah nyusul, minyak goreng pura-pura stabil tapi stoknya hilang.
Akhirnya, rakyat cuma bisa senyum getir sambil bilang, “Yowes, yang penting masih bisa beli garam buat rasa hidup”. hahaha

Padahal menurut laporan BPS, ekonomi kita tumbuh 5,04 persen. Tapi entah kenapa, pertumbuhan itu gak sampai ke dapur. Kayaknya cuma angka di layar yang tumbuh, sementara isi dompet malah kering kerontang kayak daun jambu di musim kemarau.

Pemerintah daerah memang udah rajin bikin operasi pasar. Tapi kadang, yang dioperasi cuma tampilan  bukan masalahnya. Ada pejabat datang, nanya harga cabai, foto bareng pedagang, lalu unggah di media sosial dengan caption, “Harga terkendali”.
Padahal di pasar sebelah, harga udah naik lagi.

Inflasi itu gak bisa disembuhkan dengan konten. Harus dengan tindakan nyata. Pemerintah perlu turun ke akar  bantu petani cabai dari bibit sampai distribusi, bukan cuma datang pas harga udah keburu “mendidih”. Karena kalau urusan pangan terus ditangani dengan gaya reaktif, rakyat keburu lapar duluan sebelum solusi datang.

Yang lucu, tiap kali inflasi naik, yang disalahkan selalu “cuaca”, “pasokan terganggu”, atau “distribusi terhambat”. Tapi jarang ada yang bilang, “Kita kurang manajemen”.
Padahal, yang bikin rakyat kepanasan bukan cuma matahari, tapi juga harga pasar yang makin menyengat.

Kita ini bangsa yang kaya tanah, tapi kadang miskin perencanaan. Cabai bisa tumbuh di halaman, tapi di kota besar bisa jadi barang mewah. Ironi kan?

Rakyat kecil gak minta banyak, bro. Cuma pengin harga beras gak bikin cemas, harga cabai gak bikin stres, dan harga minyak goreng gak bikin nangis.
Semoga rapat-rapat besar yang dihadiri pejabat itu gak berhenti di layar laptop, tapi nyampe ke dapur rakyat.

Karena kalau inflasi masih jadi tamu langganan tiap tahun, jangan-jangan nanti rakyat beneran puasa bukan karena ibadah, tapi karena dompetnya udah lebih dulu kosong.

Mengendalikan inflasi bukan cuma urusan angka di laporan, tapi soal rasa kemanusiaan di meja makan. Kalau dapur rakyat tenang, baru negara bisa bilang ekonomi kita sehat, bukan sekadar catatan rapat.[***]

Terpopuler

To Top