GEDUNG Kesenian Palembang mendadak heboh! Bukan karena konser dangdut, tapi karena para pemuda dan seniman tumplek blek merayakan Hari Sumpah Pemuda ke-97. Dengan tema “Bersatu, Berkarya, dan Berbudaya,” acara ini jadi ajang unjuk semangat, tawa, dan karya. Dari puisi sampai tari tradisi, semua berbaur kayak cuko dan pempek beda rasa tapi satu wadah: bikin nagih dan nyatuin bangsa!
Tapi jangan salah, ini bukan acara seremoni kaku yang isinya sambutan panjang kayak iklan obat batuk, malam itu justru jadi panggung tawa, puisi, dan tepuk tangan yang bikin semua tamu betah nongkrong sampai lampu nyala.
Acara dibuka dengan alunan musik dan tari tradisional, disambung pantun yang bikin suasana adem kayak es dawet di siang bolong
Datang berkumpul di gedung kesenian,
Suara musik berpadu nada.
Sumpah Pemuda jadi pegangan,
Satu nusa, bangsa, dan bahasa kita!
Begitu pantun terakhir diucap, penonton langsung “woooh”-an, antara kagum dan salah fokus sama yang bacain.
Hadir berbagai tokoh dan seniman, dari pejabat hingga penyair, dari Vebri Alintani sampai Indah Rizki Ariani Mujyaer. Bahkan, Hendra Sudrajat, sang dosen sekaligus pujangga kampus, sempat bikin bulu kuduk berdiri lewat puisinya “Satu Suara di Tepian Musi”.
Dan pas Anto Narasoma baca puisi “Sumpah Serapah”, ruangan hening sejenak bukan takut, tapi kagum!. Kalau Soe Hok Gie masih hidup, mungkin beliau bakal tepuk tangan dari langit.
Yang bikin acara makin hidup, para duta dan ikon pelajar juga ikut tampil. Ada Duta Bastra, Duta Pelajar Remaja Nusantara, Icon Gadis Wisata Musi, sampai Best Attitude Wisata Musi, pokoknya semua anak muda yang wajahnya glowing tapi pikirannya nasionalis!.
Kehadiran mereka jadi bukti bahwa generasi sekarang nggak cuma jago ngonten TikTok, tapi juga bisa jaga budaya. Mereka bantu acara dari awal sampai akhir, termasuk mahasiswa magang dari Universitas PGRI Palembang yang udah kayak kru konser Coldplay sibuk tapi bahagia.
Septa Marus, yang mewakili Walikota Palembang, tampil dengan pesan yang bikin tepuk tangan pecah “Pemuda itu ujung tombak perubahan. Lewat seni dan budaya, kita bisa memperkuat jati diri bangsa!”.
Langsung deh, penonton bersorak, “Hidup Pemuda Indonesia!”, kayak lagi nonton final sepak bola.
Sementara Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) mengingatkan, jangan cuma heboh di panggung, tapi juga rajin melestarikan budaya di kehidupan nyata.
“Yang tradisi harus terpelihara, yang nasional harus berkembang. Kalau bisa, yang global pun diadopsi asal jangan lupa jati diri”
Wih, dalem banget, Pak! Filosofis tapi ngena kayak lirik lagu indie di kafe pinggir jalan.
Acara makin pecah waktu Tim Magang dan Sanggar Blok E Art Company naik panggung. Mereka menampilkan Tari Tightrope dan musikalisasi puisi yang bikin semua mata merem melek, antara kagum dan mikir, “ini latihan berapa bulan ya?”
Disusul penampilan Fatimah Azzahra Gita Dranie dengan musik solo yang adem di telinga, kayak ngopi di tepi Musi sore-sore.
MC-nya juga nggak kalah lucu, Winda Wulandari dan Desi Ashari sukses bikin suasana nggak kaku, malah kayak nonton stand up comedy rasa kebudayaan.
Malam itu jadi bukti, Sumpah Pemuda bukan cuma diucapkan, tapi dihidupkan lewat seni.
Dari panggung seni, semangat bersatu dan berkarya tetap menyala.
Anak muda Palembang membuktikan, mereka bukan penonton sejarah, tapi sutradara masa depan!
Dan… kalau semangat kayak gini terus dijaga, jangan heran kalau 10 tahun lagi, Palembang bukan cuma dikenal karena pempeknya, tapi juga karena senimannya yang berjiwa nasionalis dan ngakaknya berfaedah. [***]