Features

“Pasar Malem Narasi dan Rindu yang Dijual di Bawah Lampu Merah Jambu”

ekraf

DULU, waktu saya kecil, hiburan paling mewah bukan konser Coldplay, bukan pula healing ke Bali. Hiburan ini paling wah ya… pasar malem, yang datangnya cuma setahun sekali, tapi meninggalkan kenangan yang bisa diangsur sampai sekarang.

Ada bianglala yang berderit pelan, kora-kora yang bisa bikin jantung pindah ke tenggorokan, dan lampu warna-warni yang bikin suasana lebih romantis dari kembang api tahun baru.

Nah, belasan tahun kemudian, ternyata pasar malam tak benar-benar punah. Ia cuma ganti baju, ganti nama, dan… naik kelas!. Buktinya, Minggu lalu (26 Oktober 2025), Pasar Malem Narasi nongol di Hutan Kota GBK Jakarta, lengkap dengan dekorasi ala “Hiburan Asli Tjap Indonesia”, kayak nostalgia masa kecil yang dikasih upgrade jadi versi ekonomi kreatif edition. Dan yang datang bukan cuma warga yang haus nostalgia, tapi juga Wamen Ekraf, Irene Umar.

Wamen Irene datang bukan sekadar jalan-jalan sambil jajan cilok, tapi buat kasih dukungan ke para pegiat ekonomi kreatif. Katanya, acara kayak Pasar Malem Narasi ini bukan cuma tempat hiburan, tapi juga “etalase karya anak bangsa”.

Kalau dulu jualannya gelang plastik sama balon tiup, sekarang jualannya fashion lokal, kuliner khas daerah, sampai produk desain yang kekinian tapi masih beraroma Indonesia.

Bayangkan, di satu sisi ada Papinka dengan koleksi fesyen lokalnya, di sisi lain Pallubasa Serigala ngebul dengan aroma yang bisa bikin orang diet pun khilaf. Lalu nongol Ayam Keprabon, Mad Bagel, sampai Kopi Sagaleh, nama-nama yang kalau dibaca pelan bisa bikin perut ikut demo.

Tapi di balik itu semua, Wamen Irene lagi bicara serius soal masa depan ekonomi kreatif. Katanya, “ekonomi kreatif adalah the new engine of growth”.
Kalimatnya sih berat, tapi kalau diterjemahkan ke bahasa rakyat kreativitas sekarang bukan cuma buat lucu-lucuan di TikTok, tapi juga bisa jadi sumber nafkah dan lapangan kerja.

Orang dulu bilang, “Hidup itu kayak pasar malam, rame, terang, tapi cuma sebentar”.

Nah, Pasar Malem Narasi ini kayak mau membuktikan pepatah itu salah. Sebentar sih, tapi efeknya panjang. Karena di sanalah para pelaku kreatif lintas subsektor fesyen, kuliner, musik, desain belajar satu hal penting kolaborasi adalah jurus sakti di era sekarang.

Wamen Irene bahkan menekankan, pemerintah nggak bisa kerja sendirian. Dunia kreatif butuh ekosistem, dari pemerintah, swasta, komunitas, sampai penonton yang doyan jajan. Kalau semua bersatu, hasilnya bukan cuma event ramai, tapi roda ekonomi yang terus muter kayak bianglala.

Dan bicara soal bianglala, saya sempat teringat dulu waktu kecil naik bianglala di pasar malam kampung. Tiap kali sampai puncak, saya deg-degan bukan karena tinggi, tapi takut ayah saya sadar koinnya tinggal satu.
Sekarang, para pelaku ekraf juga lagi naik bianglala, naik tinggi pelan-pelan, tapi kalau nggak jaga keseimbangan, bisa oleng juga.

Oleh sebab itu, acara kayak Pasar Malem Narasi penting banget buat ngasih pegangan biar roda kreatif ini nggak nyungsep.

Lucunya, di tengah gegap gempita musik dan lampu hias, saya malah nemu filosofi hidup versi “orang pasar”
Tengok aja pedagang kaos lokal yang nyengir tiap dagangannya laku, anak-anak muda yang jualan totebag buatan tangan, sampai pengunjung yang rela antre demi foto di bawah lampu warna-warni.

Semuanya kelihatan bahagia, padahal nggak semua kaya. Tapi, seperti kata orang tua zaman dulu, rezeki itu bukan cuma yang masuk kantong, tapi juga yang bikin hati tenang.

Pasar malam versi Narasi ini seolah ngajak kita buat ingat, hiburan rakyat itu bukan cuma soal tawa, tapi soal rasa punya. Rasa bahwa kita bagian dari sesuatu yang lebih besar  budaya, kreativitas, dan gotong royong.

Kalau dulu pasar malam jadi tempat ketemu jodoh (ya, banyak yang pacaran di situ, ngaku aja), sekarang pasar malam jadi tempat ketemu peluang. Peluang bisnis, kolaborasi, bahkan inspirasi. Bedanya cuma satu, dulu bayar tiket pakai koin logam, sekarang pakai QRIS.

Jadi, di puncak acara, band Mollucan Soul manggung sambil bawa suasana nostalgia ke level yang bikin penonton jingkrak-jingkrak. Wamen Irene di sela-sela keramaian bilang, “Dengan potensi talenta dan budaya kita, ekonomi kreatif bisa jadi motor utama pertumbuhan nasional”.

Dan saya mikir, iya juga ya… mungkin memang sudah waktunya kita berhenti minder sama karya luar negeri. Soalnya, di tangan anak-anak muda Indonesia, kreativitas bisa berubah jadi kekuatan ekonomi.

Pasar malam dulu mungkin tempat hiburan rakyat biasa. Tapi Pasar Malem Narasi membuktikan yaitu di balik tawa dan jajanan, ada gerakan ekonomi yang nyata. Semacam dagelan yang berfaedah.

Begitu pula malam beranjak larut dan lampu pasar satu per satu padam, para pedagang tersenyum kecil.. bukan karena dapat hadiah dari undian (nggak ada juga), tapi karena sadar, bangsa ini masih punya cara untuk bahagia dan berdaya, lewat hal yang sederhana  kreativitas.

Orang dulu bilang, “Selama masih ada pasar malam, rakyat belum benar-benar kehilangan harapan”, dan di tangan Wamen Irene dan para pegiat ekraf, harapan itu bukan cuma nostalgia masa kecil. Ia sudah naik kelas jadi motor penggerak ekonomi yang bisa bikin Indonesia melaju, sambil tetap tertawa di bawah lampu merah jambu.[***]

Terpopuler

To Top