Industri Kreatif & UKM

“Desa Kreatif, Kue Karawo & Ekonomi Tak Boleh Asal Gosong”

ist

ADA satu kebenaran universal dalam dunia ekonomi, siapa pun yang pernah menunggu kue keluar dari oven tahu, kalau terlalu cepat dibuka pintunya, adonannya bisa kempes, beginilah kira-kira gambaran pilot project Desa Kreatif Tanggilingo di Bone Bolango, Gorontalo, yang baru saja diresmikan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya.

Di atas panggung, Menteri berbaju krem dengan syal biru, sambil memegang mikrofon, tampak seperti chef Gordon Ramsay yang tiba-tiba dipanggil untuk jadi juri lomba karawo, bedanya, tak ada teriakan “It’s raw!”, karena kue Karawo sudah jelas matang dan laris manis.

Tanggilingo bukan sembarang desa, ia ibarat dapur besar yang tiap Idul Fitri mendadak berubah jadi pabrik biskuit raksasa, coba umpamanya ada 13 ribu toples kue Karawo berhamburan keluar, siap diserbu pemesan dari Gorontalo sampai Jakarta. Kalau setiap toples rata-rata dihargai Rp80 ribu, maka omzetnya bisa tembus Rp1 miliar lebih. Itu belum termasuk efek samping, dari tukang gula, tukang telur, sampai supir pickup yang jadi logistik kilat dadakan.

Yang menarik, Tanggilingo awalnya terkenal dengan fesyen sulaman Karawo sejenis bordir manual yang sabarnya setara menunggu WhatsApp doi dibales. Tahun 2022 lalu, desa ini sudah ditetapkan sebagai desa kreatif fesyen. Tapi tahun 2025, jurusnya ditambah kuliner. Jadi, desa ini sekarang punya dua kaki ekonomi kreatif, yakni jarum sulam dan loyang kue. Kalau satu patah, masih ada satu lagi yang menopang.

Ini strategis, karena dalam ekonomi, diversifikasi itu bukan soal gaya-gayaan, tapi soal bertahan hidup. Ingat pepatah di tengah kampung “Jangan taruh semua telur di satu keranjang, apalagi kalau keranjangnya dititip ke tetangga yang sering jatuh dari motor”.

Peresmian Desa Kreatif ini bukan sekadar seremoni panggung, tapi simbol, Presiden Prabowo bahkan menegaskan, industri kreatif adalah mesin baru pertumbuhan ekonomi nasional. Nah, mesin ini ternyata bukan berlokasi di gedung pencakar langit Jakarta, tapi di desa-desa yang punya kearifan lokal.

Di sinilah,  desa yang tadinya dianggap sebagai pemain pinggiran, kini jadi dapur utama, kalau dulu desa dipandang sebagai tempat kirim beras dan anak muda perantau, sekarang desa bisa jadi sumber devisa, branding budaya, bahkan magnet wisata.

Misalnya kalau 10% saja dari 74 ribu desa di Indonesia punya produk kuliner khas yang laku di pasar global, itu bukan lagi ekonomi kreatif, tapi revolusi sendok dan garpu.

Tentu saja, membicarakan desa kreatif tanpa bicara pasar sama saja seperti bikin adonan tanpa gula, kue Karawo boleh harum, tapi bagaimana nasibnya di pasar modern?,  apakah siap masuk rak supermarket nasional?, apakah tahan dibawa ekspor?, apakah sudah punya sertifikasi halal, izin edar, atau barcode?.

Masalah modal juga tak kalah pelik, UMKM seringkali terjebak dalam lingkaran butuh modal tapi tak punya agunan. Bank masih ragu-ragu, sementara koperasi sering kalah modal dibanding pinjaman online yang bunganya bisa bikin kepala puyeng tujuh keliling. Di sinilah Kemenekraf harus turun tangan, memastikan ada jalur pembiayaan yang manusiawi, bukan yang membuat pelaku usaha seperti ayam digiring ke kandang bank.

Tapi optimisme tetap ada, apalagi kalau pelaku UMKM belajar digital marketing, bayangkan ibu-ibu pembuat Karawo yang dulu sibuk mengaduk adonan di dapur, kini juga sibuk bikin konten TikTok cobain kue Karawo, bikin mantu betah di rumah mertua!, kalau sudah begini, bukan cuma desa yang panen, tapi algoritma pun ikut mengangkat.

Resep nenek moyang

Ekonomi kreatif itu sejatinya perkawinan antara tradisi dan inovasi, sulaman Karawo adalah warisan budaya, tapi bagaimana membuatnya tampil kekinian?, kue Karawo adalah resep nenek moyang, tapi bagaimana kemasannya bisa bersaing dengan biskuit impor?

Jadi oleh karena itu, semakin tinggi nilai tambah dari tradisi, semakin besar daya saing di pasar, nilai tambah ini lahir dari desain kemasan, produk, sampai sistem distribusi, karena konsumen sekarang bukan hanya membeli rasa, tapi juga cerita.

Kalau kue Karawo bisa dijual misalnya dengan narasi “Setiap gigitan adalah sulaman rasa dari Gorontalo”, itu bisa lebih mahal dibanding hanya “kue enak, cocok buat lebaran” branding adalah rempah baru dalam masakan ekonomi.

Ada pepatah kuno, “Air yang tenang jangan disangka tak ada buaya”, begitu juga dengan desa, jangan kira kalau sunyi, tak ada potensi ekonomi. Justru desa menyimpan buaya raksasa bernama daya kreatif, tantangannya adalah bagaimana buaya ini diarahkan berenang ke kolam pasar global, bukan malah nyasar ke rawa-rawa birokrasi.

Peresmian Desa Kreatif Tanggilingo memberi sinyal bahwa pemerintah serius mendorong ekonomi kreatif dari akar rumput. Tapi serius saja tidak cukup, harus ada keberlanjutan, seperti akses modal, pelatihan, digitalisasi, dan infrastruktur. Tanpa itu, kue kreatif desa bisa gosong sebelum matang.

Ekonomi kreatif bukan sekadar jargon, tapi pertaruhan, apakah Indonesia mau naik kelas dari pengekspor bahan mentah jadi eksportir nilai tambah. Kalau Tanggilingo berhasil, desa lain bisa meniru, kalau gagal, ya jangan salahkan oven, barangkali resep kebijakannya yang keliru.

Ingat pepatah yang satu ini “Jangan biarkan ayam mati di lumbung padi”, jangan biarkan desa yang kaya budaya justru miskin peluang. Karena sejatinya, ekonomi kreatif bukan hanya soal uang, tapi juga soal harga diri bangsa.

Pesanya, di zaman ketika dunia mencari produk yang punya cerita, Indonesia sebenarnya sedang duduk di atas tambang emas narasi. Jangan sampai emas itu dijual kiloan, sementara kita cuma dapat debunya.[***]

Terpopuler

To Top