ADA pepatah lama di Sumatera Selatan, “Belum sah ke Palembang kalau belum makan pempek”, nah, minggu ini pepatah itu terbukti secara politik, lantaran Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka singgah ke Pasar 16 Ilir Palembang, Sumatera Selatan, kedatanganya bukan cuma sekadar meninjau harga cabai dan daging, tapi juga nyemplung langsung ke kuliner khas, yakni pempek tumpah.
Jangan salah, bagi sebagian orang, momen itu tampak sepele, apa istimewanya makan pempek di pasar?, lha, wong setiap hari wong Palembang juga makan pempek, tapi di dunia politik, satu gigitan pempek bisa lebih renyah dari pidato panjang. Seorang pemimpin yang mau duduk di bangku plastik, nyocol pempek pakai cuko, dan ketawa bareng rakyat, kadang lebih berkesan daripada seribu baliho bertuliskan “Kami mendengar aspirasi Anda”.
Coba bayangkan, pempek itu aslinya sederhana, yakni ikan giling, tepung, direbus, lalu digoreng, namun dari kesederhanaan itu lahirlah simbol identitas, kebanggaan, bahkan diplomasi kuliner. Kalau Presiden Amerika pakai burger atau hotdog buat kampanye dekat rakyat, Wapres Gibran pakai pempek.
Ini mengingatkan kita pada pepatah Jawa “Sepiro gedhene gunung, yen ora mangan, yo ora urip” (Sebesar apapun gunung, kalau tidak makan ya tetap lapar). Artinya, sebesar apapun jabatan seorang pemimpin, dia tetap manusia biasa yang butuh makan, dan ketika pemimpin mau makan bersama rakyat, ada pesan simbolis, kita semua sama-sama manusia, sama-sama lapar, sama-sama butuh cuko biar hidup lebih sedap.
Pasar 16 Ilir bukan sekadar tempat jual-beli, ia adalah panggung sosial, semua ada di sana, pedagang, pembeli, tukang parkir, sampai politikus yang sedang cari simpati.
Kalau mau tahu kondisi ekonomi sesungguhnya, jangan tanya laporan BPS dulu, coba jalan-jalan ke pasar. Harga cabai, harga beras, senyum atau keluhan pedagang, itulah indikator ekonomi rakyat yang paling jujur.
Ketika Gibran blusukan ke pasar, ia tidak hanya menyapa rakyat, tapi juga masuk ke “ruang demokrasi asli”. Di sana, rakyat bebas ngomong apa saja, soal jalan rusak, soal tol, sampai soal listrik byar-pet.
Tidak ada naskah sambutan, tidak ada prompter, blusukan di pasar adalah ujian retorika yang sesungguhnya, berani nggak pemimpin dengerin suara rakyat yang kadang pahit, kadang pedas, seperti cuko pempek itu?.
Apakah makan pempek cukup untuk memperbaiki infrastruktur Sumsel?, tentu tidak, pempek hanyalah pintu masuk, cara membangun kedekatan emosional.
Setelah itu, yang lebih penting adalah tindak lanjut nyata, apakah usulan Herman Deru soal Tanjung Carat, tol, dan Jalinsum benar-benar jalan atau hanya jadi bumbu pempek yang cepat habis?.
Politik simbolis memang penting, rakyat butuh merasa dekat dengan pemimpin, tapi kalau kedekatan hanya berhenti di meja makan, tanpa ada proyek konkret, akhirnya rakyat bisa bilang “Wong kito cuma dipempek-pempekke bae”. he..he!.
Oleh karena itu, dari momen ini, ada beberapa pesan moral yang bisa ditarik, antara lain jangan lupa rasa, maksudnya pempek tanpa cuko ibarat janji politik tanpa realisasi, hambar, jadi, pemimpin perlu pastikan janji manis di pasar punya rasa nyata dalam kebijakan.
Selain itu, suka gak suka makan bareng itu penting, tapi kerja bareng lebih penting, duduk bersama rakyat boleh, selfie boleh, makan pempek boleh, tapi setelah itu, ayo sama-sama kerja.
Dan kesederhanaan adalah kekuatan, rakyat suka lihat pemimpin turun ke bawah, mau duduk di kursi plastik, mau keringetan di pasar. Jangan terlalu sering di ruang ber-AC, sesekali hirup aroma ikan segar di pasar, itu vitamin politik.
Pak Wapres, blusukan makan pempek itu langkah bagus. Tapi jangan sering-sering berhenti di level simbolis, ingat pepatah Palembang “Air tenang menghanyutkan”. Jangan sampai rakyat kelihatan tenang saja makan pempek, padahal di dalam hati mereka sudah hanyut terbawa arus kekecewaan karena pembangunan tak kunjung nyata.
Dan untuk para kepala daerah, jangan hanya mengandalkan momen kunjungan pejabat pusat sebagai panggung permintaan, setelah itu momen makan pempek, kerja nyata harus terus jalan meski kamera sudah mati.
Politik kita sering terlalu kaku, padahal, rakyat Indonesia suka guyon, coba lihat, Gibran makan pempek di pasar langsung viral, karena itu dekat dengan keseharian. Jadi, kenapa tidak dibuat konsisten?, bayangkan kalau ada tradisi setiap pejabat pusat yang datang ke daerah wajib makan kuliner khas setempat bersama rakyat. Dari Aceh sampai Papua, itu bisa jadi diplomasi kuliner sekaligus sarana menyerap aspirasi.
Kerja nyata
Siapa tahu, suatu hari nanti, keputusan soal pembangunan tol, pelabuhan, atau infrastruktur lain lahir dari obrolan santai sambil makan pempek, sate, atau papeda. Tidak perlu seminar mewah yang ngabiskan dana besa di hotel berbintang, cukup meja kayu di warung pasar.
Pemimpin itu seharusnya, seperti pempek kapal selam, yakni ada isi, tidak cuma kulit, rakyat butuh pemimpin yang berisi gagasan dan kerja nyata, bukan sekadar garing di luar tapi kosong di dalam.
Dan pemimpin juga seperti cuko, kadang pedas, kadang manis, kadang asam, tapi justru di situlah kenikmatan, kalau semua serba manis, malah bikin eneg. Pemimpin harus siap menyajikan kebijakan yang kadang pahit, demi kebaikan jangka panjang.
Momen Gibran makan pempek di Pasar 16 Ilir adalah pengingat bahwa politik sejatinya lahir dari ruang-ruang sederhana, pasar, warung kopi, meja makan, dari sana lahir kepercayaan rakyat.
Kalau pemimpin bisa konsisten menjaga kedekatan ini, lalu menindaklanjuti dengan kebijakan nyata, maka blusukan ke pasar tidak hanya jadi bahan berita viral, tapi juga jadi fondasi politik yang sehat.
Jadi, mari ingat pepatah Palembang satu lagi “Jangan sampai makan pempek bikin kenyang sesaat, tapi lupa nasi di rumah”. Artinya, jangan sampai euforia momen blusukan bikin puas sesaat, tapi lupa kerja besar yang harus dituntaskan.
Akhirnya, pemimpin yang baik bukan hanya pandai makan pempek, tapi juga mampu menghadirkan rasa kenyang bagi rakyatnya, kenyang secara ekonomi, kenyang secara pembangunan, dan kenyang secara keadilan sosial. Semoga rakyat juga tidak jadi korban…[***]