Properti

KUR Perumahan, Dari Pondasi Rumah ke Pondasi Ekonomi Rakyat

ADA pepatah bilang, “rumahku adalah istanaku”. Nah, kalau istana cuma bisa dimiliki raja, rumah subsidi bisa dimiliki rakyat jelata lewat program KUR Perumahan. Jangan salah, dari tembok bata yang tampak sederhana itu bisa lahir perputaran ekonomi yang bikin kepala pengamat ekonomi manggut-manggut, sekaligus bikin pedagang warteg di dekat proyek perumahan ikut tersenyum lebar.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, baru-baru ini menekankan pentingnya KUR Perumahan sebagai terobosan baru. Angka yang dilemparnya cukup bikin mata melotot, yakni 350 ribu unit rumah subsidi akan dibangun, dan setiap satu rumah minimal menyerap lima tenaga kerja. Kalau dikalikan, jadinya 1,65 juta orang punya pekerjaan.

Itu baru hitungan tukang, belum ibu-ibu penjual gorengan di pinggir proyek yang omzetnya bisa naik gara-gara tukang butuh camilan sore.

Ibaratnya, program ini bukan cuma soal bikin atap genteng, tapi bikin atap ekonomi yang menaungi banyak keluarga, dari semen, pasir, hingga mie instan di warung sekitar, semuanya kena efek domino. Kalau biasanya orang bilang ekonomi itu rumit, lewat program ini bisa dijelaskan sederhana pasang pondasi rumah, pondasi ekonomi ikut berdiri.

Bayangkan percakapan dua tukang di warung kopi “Bang, sekarang kerjaan lancar nggak?”
“Alhamdulillah, lagi kebagian proyek rumah subsidi, jadi tiap hari bisa ngopi tanpa ngutang”

Lucu tapi nyata, inilah dagelan manis KUR Perumahan, dana yang disalurkan bukan hanya jadi kredit, tapi juga jadi alasan banyak tukang bisa pulang dengan senyum ke keluarganya, developer kecil yang biasanya susah dapat pembiayaan, sekarang bisa mengakses bunga subsidi.

Analogi gampangnya begini, kalau biasanya developer ibarat pemain bola tanpa sepatu, sekarang pemerintah kasih sepatu plus kaos tim. Tinggal mainnya aja jangan bikin blunder.

Menariknya, sosialisasi program ini dimulai dari kampus, tepatnya Universitas Katolik Parahyangan. Agak unik memang, biasanya kampus sibuk dengan teori, kali ini malah jadi “markas awal” kredit perumahan. Tapi justru itu yang segar, mahasiswa bisa belajar bahwa membangun rumah bukan hanya soal gambar arsitektur, tapi juga soal membangun ekosistem ekonomi.

Ibarat pepatah, “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”, sosialisasi kecil-kecilan di kampus bisa jadi gerakan besar di masyarakat. Kalau mahasiswa ikut paham soal pembiayaan rumah, bukan mustahil mereka jadi generasi developer baru yang tidak cuma mikir profit, tapi juga manfaat.

Mari kita bongkar lebih serius, 350 ribu rumah subsidi bukan angka kecil, jika setiap unit rumah bernilai rata-rata Rp150 juta, totalnya mencapai Rp52,5 triliun. Uang segede itu berputar di sektor konstruksi, perbankan, hingga UMKM, efek bergandanya bisa sampai ke industri semen, baja, cat, sampai angkutan pickup.

Lebih jauh lagi, ketika ada rumah baru, ada kehidupan baru, anak masuk sekolah di sekitar, warung baru buka, ojek daring dapat pelanggan tambahan. Jadi jangan remehkan satu pondasi rumah, karena efeknya bisa menyebar seperti riak air saat batu dilempar ke kolam.

Namun, program sebesar ini jangan sampai jadi sekadar pesta kembang api heboh di awal, padam setelah acara. Menteri PKP sudah wanti-wanti soal evaluasi. Harus ada ukuran jelas, berapa transaksi, berapa developer kecil yang terbantu, berapa kontraktor lokal yang benar-benar dapat order.

Kalau tidak, bisa-bisa KUR Perumahan hanya jadi poster manis tanpa cerita sukses di lapangan. Itu ibarat bikin rumah pakai cat mahal, tapi pondasinya asal-asalan cantik di luar, roboh di dalam.

Oleh karena itu,  tanggung jawab ada di semua pihak, pemerintah sebagai arsitek kebijakan, bank sebagai tukang kredit, developer sebagai mandor, dan rakyat sebagai pemilik rumah impian. Kalau semua jalan, rumah subsidi bukan cuma rumah murah, tapi rumah berkah.

KUR Perumahan ini sejatinya bukan hanya soal orang punya atap untuk berteduh. Lebih dari itu, ini adalah soal bagaimana negara hadir dengan kebijakan yang menyentuh perut rakyat sekaligus menggerakkan mesin ekonomi.

Kalau 1,65 juta orang bisa bekerja karena membangun rumah, maka ini lebih dari sekadar angka. Ini adalah bukti bahwa ketika rakyat membangun rumah, sejatinya mereka sedang membangun bangsa.

Dan siapa tahu, dari rumah sederhana yang berdiri tegak itu, lahir generasi yang suatu hari bisa membangun Indonesia yang lebih kokoh. Karena, seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, tapi setidaknya kalau rumah berdiri kuat, retakan bisa diperbaiki, dan masa depan bisa tetap ditempati dengan nyaman.[***]

Terpopuler

To Top