Properti

BSPS 2026 – Gubuk Derita ke Properti Rakyat, Rp8,9 Triliun Bisa Bikin Tukang Senyum Lebar

pkp.go.id

ANDA punya rumah bocor? Hujan deras, airnya lebih rajin mampir ke ruang tamu daripada tamu itu sendiri. Lantai retak, dinding penuh jamur, atapnya kalau ditiup angin bisa jadi layangan. Di titik itu, kita baru sadar pepatah “rumahku istanaku” kadang lebih mirip “rumahku kolam renangku”.

Nah, di tengah drama rakyat yang rumahnya masuk kategori “tidak layak huni”, datanglah kabar heboh dari Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait alias Ara. Ia bilang, anggaran BSPS 2026 naik 773%. Dari Rp1,02 triliun jadi Rp8,9 triliun, targetnya 400 ribu rumah direnovasi.

Kalau angka itu disajikan kayak menu pecel lele, kira-kira porsinya bukan cuma “nasi tambah dua”, tapi sudah kayak “nasi tambah sekampung.”

Biasanya kalau dengar kata properti, pikiran kita langsung melayang ke apartemen mewah, perumahan elit, atau cluster dengan nama yang selalu pakai bahasa asing  Green Lake, Golden Village, Royal Garden. Padahal, properti sejati ya rumah rakyat kecil, gubuk di pinggir sawah, kontrakan sederhana, atau rumah setengah jadi yang tiap bulan nyicil semen satu sak.

BSPS 2026 ini bisa jadi booster properti rakyat, bahkan Rp8,9 triliun akan mengalir ke bahan bangunan, tukang, mandor, warung kopi depan toko material. Sektor properti mikro ikut kecipratan, harga tanah di kampung bisa naik, dan tukang cat bisa mendadak sibuk sampai lupa update status di Facebook.

Seperti kata pepatah JawaJer basuki mawa bea”, semua butuh biaya, dan kali ini, biaya besar untuk martabat rakyat kecil.

Bayangkan tukang bangunan, selama ini kerja borongan, gaji tipis, kadang bayaran telat, dengan proyek 400 ribu rumah, bisa jadi mereka kayak dapet THR sepanjang tahun. Bahkan, saham-saham semen, keramik, dan cat di bursa bisa ikut tersenyum. Jadi jangan heran kalau nanti analis saham ngomong, “Lonjakan BSPS 2026 bisa jadi sentimen positif sektor properti dan bahan bangunan.”

Lucunya, orang Indonesia itu unik, kalau punya rumah baru, temboknya belum kering, udah dipakai foto keluarga dan diunggah dengan caption “Alhamdulillah, rumah subsidi tapi hati istana”

Biar nggak dibilang “Indonesia doang yang sibuk renovasi rumah rakyat,” mari kita tengok negara lain.

Seperti Vietnam, pemerintahnya bikin program National Housing Development Strategy, fokusnya bukan cuma renovasi, tapi bikin rumah layak dengan harga murah untuk pekerja pabrik. Efeknya? Kawasan industri ikut berkembang, properti rakyat naik kelas.

Filipina, lewat Balik Probinsya Program, mereka renovasi rumah di desa supaya orang nggak numpuk di Manila. Mirip konsep mudik, tapi versi permanen.

India, ada program Pradhan Mantri Awas Yojana, targetnya 20 juta rumah untuk masyarakat miskin. Mereka kasih subsidi langsung bahan bangunan dan memaksa standar rumah layak ventilasi ada, sanitasi jalan.

Brasil, program Minha Casa Minha Vida sukses bikin jutaan rumah murah, tapi ada juga kritik kualitasnya kadang asal jadi. Pepatah Brasil bilang “Kalau fondasi rapuh, jangan salahkan hujan”. Cocok banget untuk kita jadikan pelajaran.

Jadi, kalau Indonesia bisa konsisten, bukan mustahil kita jadi “kelas dunia” dalam urusan perumahan rakyat.

Humor soal rumah bocor memang bikin ketawa, tapi intinya serius rumah layak itu hak dasar manusia, kalau rakyat tinggal di rumah sehat, anak-anak bisa belajar dengan tenang, ibu bisa masak tanpa was-was atap runtuh, bapak bisa ngopi tanpa takut air hujan masuk gelas.

Dan jangan lupa, properti rakyat ini ujungnya juga properti bangsa, negara yang kuat bukan dibangun dari gedung pencakar langit doang, tapi juga dari rumah rakyat kecil yang kokoh.

Seperti pepatah Minang “Rumah gadang indak basandi batu, tapi basandi marwah,” artinya, rumah bukan sekadar bangunan, tapi simbol martabat.

Jadi, BSPS 2026 bukan sekadar angka 773% atau Rp8,9 triliun, ini tentang properti rakyat yang naik kelas. Tentang tukang yang akhirnya punya kerjaan tetap. Tentang warung kopi depan toko bangunan yang laris manis. Tentang desa yang harga tanahnya mendadak naik karena rumahnya makin layak.

Kalau Vietnam bisa menata rumah buruh, India bisa bikin program jutaan rumah, Filipina bisa seimbangkan desa-kota, dan Brasil bisa belajar dari kesalahan, kenapa Indonesia nggak bisa jadi lebih baik?

Akhir kata, mari kita ingat pepatah Sunda “Imah heubeul teu kudu ngageugeuh, asal bisa mereudutkeun”, rumah tua jangan dibiarkan reot, kalau bisa direnovasi jadi tempat bahagia.

Dan semoga nanti, ketika hujan deras turun, rakyat tidak lagi bilang “rumahku kolam renangku”, tapi dengan bangga bisa berkata “Rumahku istanaku, dan ini properti rakyat sejati”.[***]

Terpopuler

To Top