Obyek Wisata

Desa Wisata, Dari Angkringan ke Asta Cita, Dari Sawah Jadi Wisata Dunia

ist

PERNAH nggak, liburan bareng keluarga tapi ujung-ujungnya malah lebih capek daripada kerja? Saya pernah. Niatnya refreshing, tapi begitu sampai di pantai, bukannya main pasir, malah sibuk ngejagain sandal takut ketuker sama sandal orang lain. Itu pun sambil makan nasi uduk yang dibungkus dari rumah, biar hemat katanya, inilah liburan ala rakyat jelata hemat, merakyat, tapi tetap bikin hati gembira.

Nah, sekarang ada kabar baik, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana baru-baru ini ngomong di DPR, katanya desa wisata bakal jadi salah satu jurus sakti untuk bikin pariwisata Indonesia naik kelas.

Katanya pariwisata itu motor penggerak ekonomi rakyat, bukan cuma tempat orang kota buat selfie lalu pulang ninggalin sampah. Wah, kalau benar digarap serius, bisa-bisa desa wisata ini jadi versi “Startup” ala Silicon Valley, tapi dengan modal sawah, soto ayam, dan senyum ibu-ibu PKK.

Dulu orang kota kalau dengar kata “desa”, bayangannya cuma sawah, sapi, dan sinyal HP yang hilang-timbul kayak hubungan mantan. Tapi sekarang desa sudah naik kasta.

Dengan program Gerakan Wisata Bersih (GWB), event-event lokal, dan pengembangan gastronomi, desa bisa jadi magnet turis. Bayangkan turis asing datang ke Tapanuli Selatan bukan cuma buat foto sawah, tapi juga ikut panen padi, terus belajar bikin rendang langsung dari dapur nenek-nenek lokal.

Kata pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ nasi uduk dibungkus.” Eh, maksud saya, di situ langit dijunjung, turis yang datang ke desa nggak hanya jalan-jalan, tapi juga ikut nyicipin budaya. Dan yang lebih penting, uangnya nggak mampir ke hotel-hotel fancy doang, tapi langsung masuk ke kantong warga desa, inilah yang dimaksud Menpar Widiyanti ekonomi rakyat jalan, pariwisata pun berkelas.

Coba bayangkan kalau setiap desa wisata punya produk khas, desa A jual kopi robusta, desa B jual batik tulis, desa C punya tari tradisional yang cuma ada saat bulan purnama. UMKM lokal jadi naik kelas, dari level pasar malam bisa tembus ke pameran internasional. Bukan nggak mungkin, suatu hari ada headline “Keripik singkong dari Desa Wisata jadi warisan budaya dunia versi UNESCO”.

Memang kedengarannya agak lebay, tapi siapa sangka dulu rendang dan batik juga bisa mendunia? Semua bermula dari dapur kecil dan kain sederhana. Nah, desa wisata itu ibarat panggung besar yang bisa bikin hal-hal kecil jadi luar biasa.

Tapi jangan salah, pariwisata rakyat juga punya tantangan, kata Menpar, salah satu fokusnya adalah keselamatan wisata ekstrem. Nah, wisata ekstrem versi rakyat bukan bungee jumping atau naik jetski. Wisata ekstrem rakyat itu misalnya naik perahu ke tengah danau dengan pelampung seadanya, alias jerigen bekas minyak goreng, hiking ke bukit tanpa sepatu gunung, cukup sandal jepit Rp15 ribuan dan camping di pinggir sungai, tapi lupa bawa obat nyamuk.

Lucunya, pengalaman-pengalaman ekstrem macam gini justru sering jadi cerita pulang kampung yang nggak ada duanya. “Eh, kemarin gue hampir hanyut di sungai, tapi seru banget coy!” Nah, kalau pemerintah serius membenahi keselamatan wisata, bisa jadi pengalaman ekstrem rakyat berubah jadi pengalaman keren yang aman tapi tetap penuh cerita.

Kita ini kadang suka salah kaprah, datang ke desa wisata, niatnya katanya mau “merasakan budaya lokal”. Tapi ujung-ujungnya cuma foto di sawah sambil caption Instagram “Back to nature,  #healing”. Padahal healing paling nyata justru kalau kita ngobrol sama warga, makan di warung sederhana, dan bener-bener nyerap suasana desa.

Pariwisata bukan cuma soal jalan-jalan, tapi soal jalan hidup bersama, kalau turis datang cuma buat selfie, yang untung cuma kamera HP. Tapi kalau turis datang buat belajar, belanja, dan menghargai, yang untung satu desa.

Visi besar Presiden Prabowo dan Wapres Gibran lewat Asta Cita jelas, pariwisata harus jadi penggerak ekonomi, desa wisata itu ibarat angkringan yang sederhana tapi ngangenin. Semua orang bisa mampir, dari mahasiswa sampai pejabat. Bedanya, kalau angkringan cuma mengenyangkan perut, desa wisata bisa mengenyangkan perut, hati, dan dompet warga sekaligus.

Kalau ini jalan, bukan nggak mungkin suatu hari nanti orang luar negeri datang ke Indonesia bukan cuma karena Bali, tapi juga karena desa wisata di Papua Barat, Kalimantan, atau pelosok Jawa Timur.

Indonesia punya ribuan desa, dan tiap desa punya cerita. Tinggal bagaimana kita mengemasnya biar menarik, bukan hanya buat turis, tapi juga buat generasi muda yang sekarang lebih kenal K-Pop daripada kearifan lokal.

Akhirnya, mari kita ingat pepatah lama yang baru saja saya karang “Siapa menanam wisata, dia akan menuai kesejahteraan”. Desa wisata bukan sekadar proyek pemerintah, tapi kesempatan emas buat rakyat kecil jadi tuan rumah di negeri sendiri.

Jadi, kalau besok liburan jangan cuma mikir ke mall atau kafe fancy, coba mampir ke desa wisata, siapa tahu di sana kita bukan hanya dapat spot foto kece, tapi juga pelajaran hidup. Ingat, wisata itu bukan sekadar jalan-jalan, tapi jalan menuju masa depan bangsa yang lebih sejahtera.[***]

Terpopuler

To Top