DI tepian sungai, suara gemericik air berpadu dengan tawa bocah-bocah, dari dulu sampai sekarang, sungai bukan hanya tempat mandi atau mencuci, tapi juga “panggung kehidupan”. Dan di Muara Enim, Sumatera Selatan, ada satu tradisi unik bernama “Kupik Mandi ke Ayek”, ritual memandikan bayi di sungai yang kini resmi mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Eh, siapa sangka, kegiatan yang bagi orang luar mungkin terlihat sederhana itu sekarang sudah naik kelas, bahkan layak dipromosikan dalam panggung Karang Asam Festival 2025.
Kalau dipikir-pikir, hidup memang mirip air sungai: mengalir, kadang deras, kadang tenang. Nah, tradisi “Kupik Mandi ke Ayek” ini ibarat pepatah lama “Dimana bumi dipijak, di situ air harus diminum”. Bedanya, di sini bukan diminum, tapi dipakai buat “baptisan lokal” ala urang dusun.
Jujur saja, mendengar HAKI untuk tradisi ini bikin saya senyum-senyum sendiri. Lha wong dulu, kalau bayi dimandikan di sungai, itu hal biasa saja. Tapi sekarang, sudah jadi kebanggaan budaya. Mirip seperti lagu lawas yang dulu diputar di kaset butut, eh tiba-tiba di-remix jadi trending TikTok. Bedanya, ini bukan gimmick, melainkan identitas asli masyarakat.
Di tengah gempuran budaya pop, orang Muara Enim berhasil membuktikan pepatah “Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas”. Kupik mandi ke ayek bukan hanya tradisi, tapi simbol ikatan manusia dengan alam. Air sungai jadi medium penyucian, doa, sekaligus harapan agar si bayi tumbuh sehat, kuat, dan “sejernih aliran ayek”.
Coba bayangkan suasana ritualnya. Ada bayi mungil, ada ibu bapak yang deg-degan, ada kakek-nenek yang cerewet kasih nasihat, dan ada sungai yang kadang lebih ramai dari pasar minggu. Jangan kaget kalau ada yang nyeletuk “Kalau bayi nangis waktu dimandikan, tandanya rejekinya deras kayak arus sungai!”. Atau yang lebih kocak “Kalau bayinya anteng, berarti nanti jodohnya orang jauh, ikut arus sungai sampai ke hulu entah kemana”.
Humor-humor semacam ini yang bikin tradisi terasa hidup. Karena apa? Budaya tanpa tawa, ibarat ikan asin tanpa garam, tetap bisa dimakan, tapi hambar.
Tahun ini, Karang Asam Festival 2025 jadi panggung resmi untuk merayakan tradisi ini. Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru, sampai hadir langsung. Ia mengapresiasi warga Muara Enim yang berhasil mengangkat ritual “Kupik mandi ke ayek” menjadi warisan budaya. Bahkan festival ini masuk dalam Karisma Event Nusantara, daftar bergengsi acara budaya nasional.
Di festival ini, bukan cuma soal budaya. Ada 106 stan dari UMKM, kuliner, BUMN, BUMD, sampai swasta. Jadi, jangan heran kalau habis nonton ritual, perut langsung digoda aroma pempek lenjer, kopi semendo, atau sambal tempoyak yang pedasnya bisa bikin air mata ngalir kayak sungai.
Kalau ditarik lebih dalam, festival ini bukan sekadar seremonial, ia adalah bukti bahwa tradisi bisa jadi motor ekonomi. UMKM lokal dapat pasar, wisatawan punya pengalaman unik, dan warga setempat mendapat kebanggaan.
Ini yang disebut “ekonomi sungai” mengalir dari hulu budaya, melewati arus wisata, lalu bermuara pada kesejahteraan. Kalau tradisi hanya jadi cerita, ia akan hanyut. Tapi kalau dijaga dan dikemas, ia bisa jadi sumber rejeki.
Orang tua dulu bilang, “Air yang tenang menghanyutkan”, jangan diremehkan. Sama halnya dengan “Kupik mandi ke ayek”. Dari luar tampak sederhana, tapi nilainya dalam sekali. Ia mengajarkan bahwa manusia harus akrab dengan alam, anak yang lahir perlu disambut dengan doa, bukan hanya pesta dan kebudayaan tidak harus mewah, cukup tulus dan bermakna.
Dan yang paling penting, tradisi ini mengingatkan kita jangan sampai generasi muda lebih hafal lagu viral daripada adat leluhurnya sendiri.
“Kupik Mandi ke Ayek”, kini bukan sekadar ritual kampung, tapi simbol budaya Sumatera Selatan yang mendunia. Dari sungai Karang Asam, gema tradisi ini bisa melintas sampai ke mancanegara.
Muara Enim berhasil membuktikan bahwa ketika masyarakat bersatu menjaga kearifan lokal, hasilnya bisa luar biasa, ekonomi terangkat, wisata hidup, dan identitas terjaga.
Pepatah mengatakan, “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” melalui Karang Asam Festival, bukan cuma budaya yang dilestarikan, tapi juga ekonomi yang digerakkan.
Jadi, kalau nanti ada orang bertanya “Apa oleh-oleh terbaik dari Muara Enim?” Jawabannya bukan sekadar kopi atau kain songket, tapi cerita tentang Kupik mandi ke ayek, tradisi sungai yang kini mendunia.[***]