Obyek Wisata

Kalau Tenun Bisa Masuk Metaversem, Warisan 500 Tahun di Ujung Jempol Gen Z

kemenpar.go.id

ADA pepatah lama orang kampung “jangan biarkan kain nenekmu hanya jadi taplak meja, padahal bisa jadi tiket ke masa depan”. Nah, pepatah ini entah siapa yang bikin, tapi rasanya cocok banget kalau kita ngomongin tenun Sekomandi, warisan 500 tahun dari Mandar, Sulawesi Barat.

Bayangkan, kain yang ditenun dengan sabar berbulan-bulan, motifnya penuh filosofi hidup, tiba-tiba nyasar ke dunia metaverse. Lha, apa nggak bikin nenek-nenek penenun bingung, “metaverse itu merek pupuk apa, Nak?”

Kalau selama ini turis datang ke desa, duduk manis lihat ibu-ibu menenun sambil ngunyah sirih, sekarang bayangin turis tinggal pasang kacamata VR. Brak!, mereka langsung nyemplung ke rumah penenun. Bisa lihat proses benang jadi kain, dengar suara ayam berkokok, bahkan cium aroma kopi Mandar yang baru diseduh (ya walaupun kalau via metaverse, baunya bisa salah alamat, jadi mirip kopi instan).

Pertanyaannya, kenapa tenun Sekomandi perlu masuk digital?, karena zaman sekarang, Gen Z lebih betah nongkrong di timeline ketimbang di teras rumah nenek, kalau budaya nggak ikut nongol di layar hape, bisa-bisa kalah sama tren AI filter yang bikin wajah glowing kayak artis Korea.

Motif tenun Sekomandi itu bukan sekadar corak. Ada makna laut, gunung, kehidupan, doa, kalau motif itu didigitalisasi jadi NFT (Non-Fungible Token), maka setiap helai motif bisa punya sertifikat keaslian digital. Bayangin, kolektor luar negeri rela beli NFT gambar monyet pakai topi aja miliaran, masa motif 500 tahun kalah pamor?

Kalau ini dijual sebagai NFT, bisa jadi dana balik ke penenun desa. Jadi nggak cuma investor kripto yang kaya, tapi juga ibu-ibu penenun bisa dapat tambahan buat beli panci baru atau nyekolahin cucu.

Tapi tentu ada dilema, bayangkan nenek-nenek Mandar ditawarin workshop “Nek, nanti kita bikin avatar ya, biar Nek bisa menenun di metaverse”

Si nenek bisa saja jawab “Cucu, aku menenun aja susah, apalagi menenun di dunia orang gaib!”

Lucu kan? Tapi justru di situlah tantangannya, kalau anak muda Mandar bisa jadi jembatan, mereka bisa bikin konten behind the loom di TikTok, live streaming proses menenun, atau bahkan bikin filter Instagram dengan motif Sekomandi.

Dulu, nenek moyang menenun benang jadi kain, sekarang, anak cucu menenun kabel jadi fiber optik, sama-sama benang, cuma beda fungsi. Yang satu menutup badan, yang satu mengantarkan data 5G. Tapi, filosofi menenun itu sama: butuh kesabaran, konsistensi, dan ketelitian. Kalau putus di tengah, hasilnya amburadul, begitu juga dengan budaya kalau pewarisannya putus, hilanglah identitas.

Digitalisasi Budaya

Namun, jangan salah kaprah,Masukin tenun ke metaverse bukan berarti cukup bikin pameran digital sekali terus selesai. Digitalisasi budaya itu harus ada keberlanjutan, harus ada pelatihan, ada pasar, ada promosi. Jangan sampai jadi pepatah baru “kainnya masuk server, penenunnya tetap lapar”

Kita butuh model ekonomi kreatif yang sehat tur virtual yang hasilnya sebagian masuk ke kas komunitas, NFT motif yang royalti balik ke penenun, kolaborasi dengan desainer dunia yang tetap mencantumkan nama Sulbar. Jadi bukan hanya “jualan eksotis”, tapi betul-betul mengangkat derajat penenun.

Coba bayangin obrolan cucu dan nenek,

Cucu: “Nek, motif ini keren, kalau aku jadiin skin Mobile Legends pasti laku keras.”

Nenek: “Apa itu skin? Badanmu kurang kulit, Nak?”

Inilah benturan zaman. Tapi justru dari benturan inilah lahir inovasi, kalau anak muda bisa translate warisan leluhur ke bahasa digital, maka budaya kita nggak cuma bertahan, tapi juga eksis di masa depan.

Bangsa kita ini sering kebanyakan jadi pasar, bukan produsen. Kita pakai aplikasi luar negeri, beli produk luar negeri, bahkan budaya kita sering diklaim negara lain baru heboh. Nah, tenun Sekomandi bisa jadi titik balik, dari warisan lokal, jadi produk global yang tetap memberi manfaat ke akar rumput.

Kalau pepatah bilang, “air mengalir ke laut”, maka di era digital, data mengalir ke server luar negeri, jangan sampai warisan budaya juga ikut hanyut tanpa arah.

Tenun Sekomandi bukan sekadar kain, ia adalah kisah 500 tahun yang bisa ditulis ulang dalam bahasa digital. Metaverse, NFT, VR  semua itu hanya alat. Yang paling penting adalah memastikan ibu-ibu penenun tetap mendapat nilai tambah, dan anak muda tetap merasa bangga memakai motif leluhur mereka.

Kalau dulu nenek kita menenun untuk menghangatkan tubuh, sekarang kita harus menenun ulang makna agar menghangatkan identitas bangsa. Ingat pepatah Mandar “Satu benang putus bisa disambung, tapi kalau tradisi hilang, susah dicari gantinya”

Jadi, kalau hari ini kamu sibuk scrolling TikTok, jangan lupa, ada warisan 500 tahun yang menunggu disentuh jempolmu. Entah lewat NFT, entah lewat VR, atau cukup lewat rasa bangga, karena di ujung benang Sekomandi, ada cerita Indonesia yang tak boleh kita biarkan lepas begitu saja.[***]

Terpopuler

To Top