KALAU di kampung, bulan Agustus biasanya ramai lomba panjat pinang, tarik tambang, dan karnaval 17-an. Anak-anak pakai kostum pahlawan, emak-emak dandan ala Putri Indonesia, bapak-bapak ngibrit bawa obor bambu. Semua ikut pawai, meriah sekali. Nah, minggu ini Jakarta juga kebagian pawai. Bedanya, bukan karnaval RW, tapi karnaval bank sentral dunia, yakni Central Banking Services Festival (CB Fest) 2025.
Misalnya saja, gubernur bank sentral dari Rusia, India, Korea, sampai Timor Leste berkumpul di Jakarta, tapi jangan dibayangkan mereka bawa marching band. Instrumen mereka bukan terompet, tapi Digital Rupiah, QRIS cross-border, BI-FAST, SNAP, hingga manajemen risiko, kalau di kampung ada yang teriak “Merdeka!”, di CB Fest ini yang diteriakkan “Interoperabilitas! Konektivitas! Digitalisasi!”.
CB Fest ini memang seperti pesta rakyat versi elit keuangan, dari luar, tampak kaku jas resmi, pidato serius, layar LED besar. Tapi kalau kita kulik, sesungguhnya ini adalah arena tukar pikiran, sekaligus tukar kode QR. Pepatah lama bilang, “dimana ada gula, di situ ada semut”. Nah, di era sekarang, “dimana ada QR, di situ ada transaksi.”
Kalau di festival rakyat hadiahnya kipas angin, di festival bank sentral hadiahnya lebih mahal konektivitas lintas negara, stabilitas sistem pembayaran, dan peluang kedaulatan digital.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, tampil bagai dirijen orkestra, tangannya tidak mengayun tongkat kayu, tapi visi kebijakan.
Beliau tegas bilang prioritas BI adalah digitalisasi dan integrasi sistem pembayaran domestik dan global. Mulai dari BI-FAST, QRIS, SNAP, sampai wacana besar bernama Digital Rupiah.
Kalau dipikir-pikir, Perry ini mirip kepala desa visioner, bedanya, kalau kepala desa mikirin jalan aspal dan lomba gaplek, Perry mikirin jalan tol digital untuk uang, dan jalan tol ini bukan cuma buat Indonesia, tapi bisa nembus Vietnam, Laos, bahkan Papua Nugini.
Dulu, diplomasi antarnegara biasanya lewat kopi, sate, atau kain batik. Kini, diplomasi bisa lewat QR, bayangkan turis Filipina datang ke Bali, jajan bakso Malang, cukup scan QRIS, tak perlu repot tukar rupiah. Itu bukan sekadar transaksi, tapi simbol persahabatan antarbangsa.
Kalau pepatah Jawa bilang “mangan ora mangan sing penting kumpul”, maka di era digital jadi “belanja ora belanja sing penting scan”.
Tapi hati-hati. Jangan sampai digitalisasi ini jadi pesta untuk kalangan kota saja bagaimana dengan petani di pelosok yang masih pusing sinyal 4G? dan bagaimana dengan nelayan yang lebih hafal arah angin ketimbang arah aplikasi dompet digital?
CB Fest memang panggung besar, tapi panggung kecil di desa dan pasar tradisional juga harus ikut disiapkan. Digitalisasi jangan jadi ajang “siapa cepat dia dapat”, tapi harus merangkul semua, karena kalau rakyat bawah tidak ikut, ini ibarat karnaval tanpa penonton, ramai di panggung, sepi di jalanan.
CB Fest 2025 membuktikan bahwa bank sentral tidak lagi sekadar tukang jaga stabilitas inflasi. Mereka kini jadi arsitek jalan raya digital, membangun jembatan pembayaran lintas negara.
Pesta ini adalah karnaval masa depan, di mana uang tak lagi dibawa dalam dompet kulit, tapi dalam aplikasi. Dan Indonesia sudah pasang spanduk besar “Selamat Datang di Era Digital Rupiah”, seperti pepatah Minang “Alam takambang jadi guru”
Dari pasar rakyat hingga forum global, satu pelajaran yang sama ekonomi butuh kepercayaan, bahkan di era dompet digital, kepercayaan itu diwujudkan lewat keamanan sistem, keadilan akses, dan kerja sama antarbangsa.
CB Fest 2025 bukan sekadar ajang teknis, tapi pesta ide, diplomasi, dan masa depan, kalau karnaval kampung menyatukan warga lewat tawa dan topeng badut, CB Fest menyatukan bangsa lewat dompet digital dan interoperabilitas.
Dan jangan lupa di balik semua teknologi canggih ini, ada satu hal yang tetap berlaku sejak zaman nenek moyang
“Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi kalau bisa dipakai lintas negara pakai QR, setidaknya beli es kelapa muda di Kamboja jadi lebih gampang”.[***]