Tekno

Robot Jepang, Obeng Lokal & Startup Kita, Saatnya Transfer Teknologi Biar Nggak Cuma Jadi Penonton

ist

PERNAH dengar pepatah lama “kalau bisa bikin sendiri, ngapain cuma nonton tetangga bikin?” Nah, pepatah itu kayaknya pas banget buat menggambarkan masa depan industri kita, khususnya soal transfer teknologi dan robotik.

Soalnya begini, di Jepang sana, robot sudah bisa bikin teh matcha sambil nunduk sopan, sementara di pabrik kecil kita, kadang baut saja masih dihitung pakai buku kas sobek yang disampul kalender bekas. Ibaratnya tetangga sudah main catur dengan komputer, kita masih sibuk main ular tangga pakai biji sawo.

Makanya, kolaborasi JICA (Japan International Cooperation Agency) dengan Kemenperin dan startup teknologi Indonesia ini bukan cuma proyek biasa. Ini ibarat pernikahan antara ninja dan tukang sate Madura satu bawa jurus cepat, satunya bawa bumbu rahasia. Kalau benar-benar cocok, jadilah inovasi otomasi dan robotik buatan anak bangsa.

Misalnya saja, sebuah pabrik baut di Klaten, dulu, mandornya tiap pagi masih teriak, “Pak, stok baut tinggal berapa?” lalu dijawab dengan garukan kepala. Sekarang, berkat sentuhan startup lokal, data stok sudah nongol real time di dashboard digital. Baut yang keluar, baut yang cacat, sampai baut yang entah dibawa pulang buat gantungan kunci, semuanya terdeteksi.

Nah, bayangkan kalau kemampuan ini naik kelas dengan teknologi robotik hasil transfer dari Jepang. Bisa jadi nanti robot lokal kita nggak cuma bantu pasang baut, tapi juga bisa ngasih laporan sambil nyanyi dangdut koplo.

Startup Indonesia selama ini lebih sering dikenal bikin aplikasi pesan makanan, dompet digital, atau filter kamera biar wajah kita lebih tirus. Padahal, kalau diarahkan ke sektor industri, startup bisa jadi “otak” di balik mesin.

Seperti kata pepatah Jawa, “sopo sing nandur, bakal ngundhuh” siapa yang menanam, dia yang menuai. Kalau startup kita ditanam dengan ilmu otomasi dan robotik dari Jepang, nanti hasil panennya bukan cuma aplikasi viral, tapi mesin-mesin pintar buatan Indonesia.

Tapi ada catatan kritisnya juga nih. Jangan sampai transfer teknologi cuma jadi “transfer brosur”. Kadang kan kalau acara kerja sama Internasional, yang dipindahkan malah tumpukan laporan, bukan ilmunya. Jadi pemerintah harus serius startup jangan cuma dijadikan figuran untuk foto bareng di seminar, tapi benar-benar dikasih ruang eksperimen, pembiayaan riset, dan akses pasar.

Robotik memang keren, tapi robot secanggih apa pun nggak ada artinya kalau manusianya masih bingung cara colok kabel. Itu sebabnya, pembinaan SDM harus jalan bareng-bareng.

Kita butuh insinyur muda yang bukan cuma bisa main Mobile Legends semalaman, tapi juga bisa ngoprek sensor dan algoritma. Kita butuh pekerja IKM yang berani belajar, meski awalnya salah tekan tombol robot bikin mesin malah joget.

Seperti kata pepatah Sunda “lamun hayang ka hilir, kudu apal ka girang”, kalau mau ke hilir, harus kenal dulu hulunya. Kalau mau punya robotik canggih, ya hulunya harus pendidikan, pelatihan, dan keberanian mencoba.

Ada satu hal yang penting buat diingat, yakni  transfer teknologi bukan sekadar beli mesin dari luar, kalau itu doang, ya kita cuma jadi pasar. Robot datang, kita bayar, lalu kita sibuk jadi pengguna tanpa ngerti isi dalemannya.

Solusinya jelas setiap kali ada proyek transfer teknologi, wajib ada pembelajaran mendalam, alih ilmu, dan riset bersama. Jepang bisa kasih robot, tapi Indonesia harus bisa bikin robot versinya sendiri. Kalau tidak, ya kita cuma jadi “konsumen robot” seumur hidup.

JICA

Singkatnya, kolaborasi JICA dengan Kemenperin dan startup teknologi lokal ini ibarat menyambungkan kabel listrik. Ada arus pengalaman Jepang yang kuat, ada soket semangat startup Indonesia yang haus tantangan. Kalau nyambungnya benar, lampu industri kita bisa terang benderang.

Jangan biarkan peluang ini cuma jadi seremoni foto di hotel berbintang, mari pastikan transfer teknologi dan robotik benar-benar menghasilkan inovasi asli Indonesia, karena di era Industri 4.0 ini, pepatah baru sedang lahir “yang punya robot, yang punya masa depan”

Kalau Jepang bisa, kenapa kita tidak? Obeng sudah di tangan, algoritma sudah di kepala, tinggal berani atau tidak kita bikin robot yang bukan cuma pintar bikin baut, tapi juga bikin bangsa ini lebih mandiri.[***]

Terpopuler

To Top