KALAU ada pepatah Jawa bilang “Urip kuwi mung mampir ngombe” (hidup itu hanya mampir minum), maka di dunia perbankan pepatahnya mungkin begini “Ekonomi kuwi mung mampir goyah”. Begitu pula ada krisis global, suku bunga Amerika batuk, pasar keuangan kita ikut pilek. Nah, di tengah gampangnya ekonomi ini masuk angin, hadir sosok yang sudah terbiasa jadi “dokter jaga IGD” bernama Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia.
Kini, Perry bukan hanya dapat ucapan terima kasih, tapi juga Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Prabowo Subianto. Biasanya, penghargaan ini identik dengan tokoh politik, sosial, atau budaya. Tapi kali ini, spotlight jatuh ke urusan makroprudensial, istilah yang kalau disebut di warung kopi bisa bikin orang salah kira “Itu makanan apa obat batuk, Bang?”
Padahal, makroprudensial adalah tameng penting agar sistem keuangan tidak roboh, Bank Indonesia lewat kebijakan ini memastikan jangan sampai bank jor-joran kasih kredit, lalu ujung-ujungnya kolaps rame-rame kayak domino ambruk. Jadi, BI bukan sekadar “penjaga kurs dan bunga”, tapi juga arsitek ketahanan finansial nasional.
Bayangkan dulu, zaman kita masih harus bawa dompet tebal, receh seribuan numpuk di kantong celana, kalau duduk bunyinya kayak angklung. Lalu, datanglah inovasi sistem pembayaran digital QRIS. Hari ini, beli cilok atau bayar parkir bisa tinggal scan barcode. Itu bukan sulap, tapi hasil dorongan kebijakan BI di bawah Perry.
Tak hanya itu, inflasi yang sering bikin emak-emak di pasar uring-uringan karena harga cabe naik, juga bisa dijaga supaya tidak lari kencang kayak kuda lepas tali. Stabilitas harga dan kurs rupiah adalah hasil kerja sunyi yang jarang masuk headline, tapi efeknya terasa sampai dapur rumah tangga.
Kalau boleh jujur, penghargaan Mahaputera ini bukan cuma tanda bintang di dada Perry, tapi juga bintang pengakuan kebijakan moneter yang kadang ribet istilahnya itu sebenarnya punya dampak sehari-hari buat rakyat kecil.
Bayangkan ekonomi sebagai sebuah pertandingan sepak bola. Pemerintah main jadi penyerang lewat kebijakan fiskal, belanja infrastruktur, kasih subsidi, bikin lapangan kerja. Nah, BI dengan makroprudensial jadi penjaga gawang. Tugasnya memastikan jangan sampai ada serangan balik krisis yang bikin gawang ekonomi jebol.
Seperti kiper legendaris Gianluigi Buffon, Perry Warjiyo kadang harus loncat kanan-kiri menghadapi tendangan bebas dari globalisasi. Dolar AS menguat? BI harus tanggap. Harga komoditas goyah? BI siaga. Bahkan saat fintech dan crypto mulai bikin dunia keuangan goyang, BI hadir dengan aturan agar sistem tetap aman.
Oleh sebab itu, makanya penghargaan Mahaputera kali ini unik, jarang ada bintang kehormatan yang dianugerahkan karena urusan “makroprudensial”. Padahal inilah fondasi supaya bank tidak jebol, kredit tidak macet massal, dan rakyat tetap bisa tidur nyenyak.
Memang, bicara ekonomi sering bikin dahi berkerut, tapi mari kita santai sedikit, misalnya begini, kalau ekonomi nasional diibaratkan warung pecel lele, maka BI adalah tukang parkirnya. Tukang parkir tidak ikut masak, tapi kalau dia lalai, bisa-bisa motor hilang, parkiran berantakan, dan orang malas mampir lagi. Jadi, jangan remehkan peran tukang parkir.
Begitu juga makroprudensial, ia bukan headline seksi, tapi jadi pengawal senyap, dan kini, dengan Mahaputera di dada Perry, kita diingatkan bahwa jasa-jasa seperti ini ternyata punya nilai besar bagi bangsa.
Kita sering terlalu fokus ke kurs rupiah atau bunga pinjaman, padahal, stabilitas keuangan jauh lebih luas. Tanpa kebijakan makroprudensial, sektor perbankan bisa seperti rumah kartu angin krisis sedikit saja, ambruk semua.
Bintang Mahaputera untuk Perry Warjiyo mengajarkan satu hal, penghargaan tertinggi bangsa ini tak melulu untuk pidato politik atau jasa militer, tapi juga untuk kerja-kerja teknokratis yang membosankan di mata awam, namun menyelamatkan kita dari bencana.
Akhirnya, penghargaan ini menjadi refleksi bahwa menjaga ekonomi tidak cukup dengan jargon “stabilitas harga”. Ada kerja panjang di balik layar dari digitalisasi pembayaran, literasi keuangan, hingga merancang regulasi makroprudensial.
Seperti pepatah kuno bilang, “Bintang tak akan redup hanya karena malam terlalu pekat”. begitu pula penghargaan Mahaputera untuk Perry Warjiyo simbol bahwa kerja serius, meski sunyi, tetap akan mendapat tempat di panggung bangsa.
Dan bagi kita rakyat jelata?, pesannya sederhana, kalau tukang parkir saja bisa bikin warung pecel lele ramai, apalagi Gubernur BI yang mengawal triliunan rupiah. Jadi mari belajar menghargai kerja yang kadang tidak kelihatan, tapi efeknya terasa ke isi dompet kita.[***]