ORANG ngomong kurikulum itu isinya matematika, fisika, bahasa Inggris, ya ujung-ujungnya bikin kepala anak sekolah penuh angka dan rumus. Tapi begitu Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, nyeletuk bahwa Sekolah Rakyat punya “prototype kurikulum” yang bisa jadi model nasional, kuping saya langsung berdiri.
Soalnya, ini bukan sekadar kurikulum biasa, bukan sekadar menghafal nama-nama gunung atau rumus bangun ruang, ini kurikulum kemiskinan. Tapi jangan salah paham dulu, bukan ngajarin cara jadi miskin, tapi cara keluar dari kemiskinan.
Bayangkan, di sekolah biasa murid belajar Pythagoras, hasilnya? Anak bisa hafal sisi miring segitiga, tapi pulang ke rumah bingung cari miringnya tempe di warung.
Nah, di Sekolah Rakyat, pelajaran mungkin lebih relevan cara bikin tempe murah tapi bergizi, cara bikin pupuk cair dari sisa dapur, sampai cara ngitung modal warung dengan kalkulator jadul.
Intinya, ini kurikulum yang lahir dari perut kosong, bukan dari seminar hotel berbintang. Pepatah lama bilang “Kalau perut lapar, otak bisa malas”. Maka Sekolah Rakyat coba bikin jalan tengah, isi dulu perutnya, baru otaknya diajak mikir. Makanya ada paket makan gratis, cek kesehatan, sampai koperasi desa ikut nimbrung.
Cak Imin bilang guru Sekolah Rakyat itu bukan sekadar pengajar, tapi role model pengentasan kemiskinan, kalau biasanya guru dikenal sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, di sini guru malah jadi pahlawan dengan banyak jasa, guru, motivator, konselor, sampai manajer keuangan keluarga.
Jika seandainya seorang guru matematika yang habis ngajar pecahan, lanjut ngasih tips cara mecah duit seratus ribu biar cukup seminggu. Atau guru biologi yang selain ngajarin fotosintesis, juga ngajarin cara nanam kangkung di ember.
Kira-kira beginilah bentuk laboratorium pendidikan sosial, ada ruang kelas jadi tempat eksperimen hidup, bukan sekadar hafalan.
Oleh karena itu, kalau kurikulum biasanya berhenti di papan tulis, kurikulum Sekolah Rakyat merembes sampai ke dapur rakyat. Anak bukan cuma disuruh bikin makalah tentang gizi, tapi langsung dikasih makan bergizi.
Kalau biasanya orang sekolah dulu baru kerja, di sini murid bisa sambil belajar wirausaha, entah jualan keripik, buka bengkel kecil, atau ikut koperasi desa.
Seperti pepatah Jawa “Ilmu tanpa laku, kaya lampu tanpa sumbu”. Sekolah Rakyat coba kasih sumbu itu belajar langsung dipraktikkan.
Nah, biar nggak bingung, mari kita bedah isi kurikulum ala Sekolah Rakyat ini (tentu versi saya yang agak ngawur tapi serius)
Matematika Perut Rakyat cara ngitung cicilan tanpa bikin kepala mumet, cara nabung receh sampai jadi modal usaha, biologi dapur nanam cabai di pot, ternak lele di ember, bikin pupuk cair organik. Bahasa Masa Depan bukan cuma Inggris, tapi bahasa “jualan online”. Biar anak miskin juga bisa buka toko di marketplace.
Selain itu sejarah rumah tangga belajar dari pengalaman orang tua agar tidak jatuh di lubang kemiskinan yang sama. Koperasi 101, bagaimana gotong royong bisa jadi modal paling murah. Kalau kurikulum ini berhasil, jangan-jangan nanti sekolah elit ikut nyontek. Anak-anak kaya juga butuh belajar cara hidup sederhana, lho.
Tentu saja, ada tantangan besar, jangan sampai kurikulum ini malah jadi formalitas, isinya banyak seminar motivasi tapi kosong praktik. Nanti anak-anak bisa hafal kata-kata bijak, tapi tetap bingung cari kerja.
Lucunya, orang miskin sering jadi objek penelitian, seperti “kelinci percobaan sosial”. Nah, kali ini beda sekolah rakyat bukan eksperimen dingin, tapi eksperimen hangat dengan nasi uduk gratis di meja makan. Kalau berhasil, ini bisa jadi pepatah baru “Pendidikan bukan hanya hak, tapi juga lauk pauk”.
Dari semua obrolan soal kurikulum kemiskinan, saya jadi ingat pepatah lama “Kalau mau menolong orang miskin, beri kail, bukan ikan”, Tapi Sekolah Rakyat justru kasih kail plus kasih ikannya sekalian, biar anak nggak keburu lapar.
Inilah prototype kurikulum yang bukan cuma ngajarin ilmu, tapi ngajarin cara bertahan hidup dengan bermartabat. Bukan sekolah yang memaksa anak miskin bersaing di lomba hafalan rumus, tapi sekolah yang bikin anak miskin bisa bilang, “Aku juga bisa sukses, walau dari nol.”
Pada akhirnya, sekolah rakyat ini ibarat laboratorium pendidikan sosial, kalau berhasil, bisa jadi model nasional. Kalau gagal, ya jadi catatan sejarah seperti banyak proyek lain yang berhenti di papan nama.
Tapi saya mau optimis saja, karena kalau rakyat diberi kesempatan sekolah yang benar-benar relevan dengan hidupnya, itu bukan hanya investasi pendidikan, tapi investasi peradaban.
Seperti pepatah Minang “Alam takambang jadi guru”. Nah, kali ini guru tak hanya alam, tapi juga dapur, koperasi, dan papan tulis. Sekolah Rakyat membuktikan pendidikan itu bukan cuma soal pintar, tapi soal kuat menghadapi hidup.[***]