Seni & Budaya

Rekam Jakarta 2025, Dari Megapolitan hingga Kolong Tol

ekraf

JAKARTA diibaratkan manusia, mungkin dia itu seperti selebritas papan atas yang selalu tampil kinclong di panggung, tapi kalau pulang ke rumah, sandal jepitnya putus, genteng bocor, dan cicilan KPR masih nyangkut. Begitulah wajah ibu kota glamor di atas, semrawut di bawah. Pameran Rekam Jakarta 2025 edisi ke-6 yang digelar  Pewarta Foto Indonesia Jakarta (PFI-J) di Galeri Cemara, Menteng, lagi-lagi bikin kita ketawa miris sekaligus merenung.

Kenapa? Karena foto-foto yang dipamerkan menelanjangi Jakarta tanpa filter. Ada pencakar langit gagah berdiri, ada pula potret dentuman tinju di bawah kolong tol. Bayangkan, satu kota tapi bisa memamerkan Louis Vuitton sekaligus sandal jepit swallow putus di hari yang sama. Inilah yang bikin Jakarta selalu jadi bahan gosip nasional penuh paradoks, tapi tetap seksi.

Jakarta itu kayak artis sinetron, pagi-pagi dia jadi istri salehah, sore jadi tante kaya raya, malam jadi tukang jamu yang dikejar rentenir. Kota ini punya banyak wajah dan tiap wajahnya difoto habis-habisan.

Lewat tema “Metamorph”, pameran Rekam Jakarta 2025 seakan bilang “Hei, lihatlah Jakarta yang lagi puber!” Kadang terlihat glowing kayak remaja baru kenal skincare, tapi sesekali jerawat kemacetan dan bopeng banjir nongol juga. Para pewarta foto itu kayak dokter kulit telaten merekam jerawatnya, bukan cuma make-up-nya.

Coba deh bayangkan satu frame langit biru, gedung pencakar langit, dan di bawahnya ada ojek online yang lagi bertengkar rebutan orderan. Kontras inilah yang bikin Jakarta nggak pernah membosankan. Kota ini bukan sekadar megapolitan, tapi juga “megalodon” yang siap melahap siapa pun yang nggak kuat berenang di arusnya.

Nah, salah satu karya yang bikin saya garuk-garuk kepala adalah foto “Dentuman Tinju di Kolong Tol, Pukulan untuk Masa Depan” karya Jamal Ramadhan. Lha, kolong tol yang biasanya buat parkir liar dan pedagang asongan, ternyata bisa berubah jadi ring tinju. Ini bukan Marvel Cinematic Universe, tapi Jakarta Cinematic Reality.

Kolong tol itu ibarat ruang tamu bersama warga kota. Ada yang tidur di situ, ada yang dagang, ada yang main catur, bahkan ada yang latihan tinju. Mungkin bagi anak-anak muda yang tumbuh di situ, ring tinju jadi harapan agar masa depan tidak hanya sekadar jadi penonton lalu lintas. Dari kolong tol lahir para petinju masa depan, meski latarnya cuma semen retak dan lampu neon 5 watt.

Di sinilah letak paradoks Jakarta, Gedung mewah bisa jadi tempat pesta minum anggur, sementara di bawah tol, ada anak-anak yang berpeluh mengejar mimpi dengan sarung tinju. Foto itu bukan sekadar gambar, tapi tamparan halus buat kita semua: jangan cuma kagum sama skyline, tapi juga peka sama kehidupan di bawahnya.

Kata Ketua PFI-J Herman Zakharia, fotografi itu bukan sekadar gambar, tapi bahasa visual. Nah, bahasa visual ini beda sama bahasa politik. Kalau politisi bisa senyum manis sambil janji “besok banjir selesai”, kamera justru tega menyorot banjir sampai betis. Kamera itu jujur, nggak bisa disuap sama nasi kotak.

Maka, pameran foto Rekam Jakarta 2025 adalah cermin besar. Kita dipaksa ngaca, meski rambut masih acak-acakan dan jerawat nongol. Foto-foto ini bikin kita sadar Jakarta memang keren, tapi juga keras. Kota ini bisa kasih panggung untuk pameran seni, sekaligus ring tinju di bawah tol.

Bagi sebagian orang, pameran foto itu cuma tempat hunting Instagram Story. Tapi bagi yang mau merenung, ini lebih dari sekadar latar belakang kece. Wamen Ekraf Irene Umar bahkan menyebutnya sebagai “arsip perubahan Jakarta.” Artinya, foto-foto ini bukan hanya untuk hari ini, tapi juga buat cucu-cucu kita kelak. Bayangkan, 20 tahun lagi ada anak SMA nulis esai sejarah: “Jakarta dulu punya ring tinju di bawah tol.”

Lebih gilanya lagi, pameran ini juga ngasih ruang edukasi. Ada diskusi soal dunia konten kreator dan workshop bangun portofolio. Jadi, anak-anak muda yang biasanya cuma jago bikin video slow motion minum kopi bisa belajar gimana bikin karya yang punya makna lebih panjang dari durasi TikTok.

Wamen Ekraf Irene bilang, fotografi dan penerbitan itu seperti Yin dan Yang, saya tambahin Jakarta itu seperti kopi dan kerupuk. Kopi bikin melek, kerupuk bikin renyah. Tanpa keduanya, hidup hambar. Tanpa foto, Jakarta cuma cerita lisan yang gampang lupa. Tanpa publikasi, foto cuma jadi folder penuh debu di harddisk.

Kombinasi itu yang bikin Rekam Jakarta 2025 terasa lengkap. Foto bicara, kata-kata menarasikan. Jakarta pun tampil utuh: glamor sekaligus getir, indah sekaligus absurd.

Pameran fotografi ini menyadarkan kita bahwa Jakarta adalah kota yang berjalan di atas dua kaki satu kaki di pencakar langit, satu kaki di kolong tol. Kalau salah langkah, bisa keseleo.

Lewat Rekam Jakarta 2025, kita diajak untuk tidak menutup mata bahwa di balik gedung-gedung tinggi, ada cerita getir yang juga pantas mendapat sorotan. Bahwa di bawah cahaya lampu neon lima watt, ada mimpi yang tak kalah terang.

Jadi, kalau nanti ada yang tanya “Jakarta itu apa sih?” Jawab saja dengan gaya dagelan, “Jakarta itu ya seperti foto: kadang bikin senyum, kadang bikin menangis, tapi yang jelas selalu perlu disimpan”.[***]

Terpopuler

To Top