DULU, kalau orang dengar nama Morowali, yang terbayang cuma perahu kayu, suara ombak sopan, dan bau ikan segar yang bisa bikin kucing kampung rela jadi perantau. Kini, Morowali, dari Desa Pesisir Jadi ‘Ibu Kota’ Vokasi Logam bukan sekadar judul manis untuk berita, tapi kenyataan di lapangan. Kabupaten di Sulawesi Tengah ini bukan cuma rumah bagi nelayan, tapi juga pusat pendidikan vokasi logam yang bikin mahasiswa siap tempur di industri strategis.
Kalau dulu orang Morowali merantau cari kerja, sekarang justru banyak orang dari luar datang ke Morowali cari kerja. Dan pusat pergerakan ini adalah Politeknik Industri Logam Morowali (PILM). Kampus ini ibarat “pabrik” yang memproduksi teknisi, spesialis listrik industri, dan ahli perawatan mesin kelas dunia bedanya, produknya adalah manusia yang terlatih, bukan barang.
Kata pepatah, “Dekat dengan gula, semut pun betah”. Di sini, gula itu kawasan industri logam raksasa IMIP, dan semutnya adalah mahasiswa PILM. Bedanya, semut di Morowali lulus kuliah bukan cuma manis di ijazah, tapi juga manis di slip gaji.
PILM punya keunggulan yang bikin kampus lain ngiler lokasinya berdampingan langsung dengan kawasan industri logam terbesar di Indonesia. Wamenperin Faisol Riza sampai bilang di kuliah umum, “Keunggulan mahasiswa PILM adalah lokasi kampus yang berdampingan langsung dengan kawasan industri. Lapangan kerjanya sudah ada”.
Bayangkan, mahasiswa di sini bisa praktik langsung di pabrik, kalau di kampus lain praktikum listrik cuma nyalain lampu maket mini, di PILM bisa sambil lihat panel listrik yang ukurannya seluas lapangan voli. Kalau di kampus lain bongkar pasang mesin motor, di sini bisa bongkar baut yang ukurannya setara botol air galon.
Itulah kenapa Morowali, dari Desa Pesisir Jadi ‘Ibu Kota’ Vokasi Logam bukan omong kosong. Ini realitas yang membuat mahasiswa belajar sambil “magang seumur kuliah”.
Data BPS mencatat, industri pengolahan nonmigas menyumbang 16,92% terhadap ekonomi nasional di kuartal II 2025, naik dari 16,72% tahun lalu. Pertumbuhannya 5,60%, mengalahkan laju ekonomi nasional yang “cuma” 5,12%. Artinya, mahasiswa yang kuliah di PILM sedang berada di jalur tol ekonomi, bukan jalan tikus.
Di PILM, semua jurusan nyambung langsung dengan denyut industri logam Teknik Kimia Mineral, Teknik Listrik & Instalasi, serta Teknik Perawatan Mesin. Lulusannya? Lebih dari 80% langsung terserap industri, sisanya melanjutkan studi atau menunggu panggilan kerja.
Transformasi Morowali mengajarkan satu hal penting, daerah pesisir pun bisa jadi pusat teknologi jika ada keseriusan membangun SDM. Dulu anak muda di sini minder karena jauh dari kota besar. Sekarang, mahasiswa PILM bisa bilang ke anak kota, “Lampu di rumahmu nyala karena mesin yang kami rawat”.
Tapi ya…, ada PR juga, kedekatan kampus dengan industri itu ibarat pisau dapur, kalau dipakai benar, bisa mengiris bawang untuk masak, kalau salah pakai, bisa melukai tangan. Makanya, selain membanggakan prestasi, kita juga perlu memastikan industri memberi standar kerja yang manusiawi dan lingkungan yang terjaga. Logam boleh keras, tapi hati pekerja jangan ikut mengeras.
Wamenperin menyebut Amerika, Jepang, dan China sebagai contoh negara yang maju karena basis industrinya kuat. Jepang punya politeknik nempel ke pabrik mobil, Jerman punya sistem dual system, setengah belajar di kampus, setengah di pabrik. Morowali dari Desa Pesisir jadi ‘Ibu Kota’ Vokasi Logam sedang menuju ke arah itu.
Pepatah bilang, “Guru terbaik adalah pengalaman, guru paling mahal adalah kesalahan.” Maka kalau sudah tahu cara negara lain berhasil, kenapa harus buang waktu dengan coba-coba yang mahal?
Di PILM, mahasiswa punya dua kostum wajib sarung las saat praktik, jas wisuda saat kelulusan. Selama tiga tahun, mereka bukan cuma belajar memegang alat, tapi juga etos kerja, disiplin, keselamatan kerja, dan berpikir sistematis.
Kepala BPSDMI, Masrokhan, bilang “dengan dukungan semua pihak, sumber daya alam, dan peluang belajar strategis, kami optimistis mahasiswa PILM bisa jadi motor penggerak industri nasional”.
Dilema
Kalau di kampus lain dilema mahasiswa adalah “teori kebanyakan, praktik sedikit”, di PILM justru “praktik kebanyakan, teori dikejar”. Tapi itulah resep sukses. Di dunia kerja, rasa percaya diri lulusan PILM setara logam mulia kadar 24 karat.
Resep supaya Morowali jadi legenda, bukan fenomena sesaat, antara lain kemitraan sehat kampus-industri, yakni industri jangan cuma menjadikan mahasiswa tenaga murah, tapi benar-benar memberi ruang belajar.
Riset lokal jadikan PILM bukan cuma tempat praktik, tapi pusat inovasi teknologi logam, jaga lingkungan, artinya industri maju harus berdampingan dengan laut yang biru dan udara yang segar dan bangun kebanggaan daerah, maksudnya mahasiswa PILM adalah duta Morowali, biarkan dunia tahu pesisir pun bisa jadi pusat teknologi.
Morowali dari Desa Pesisir jadi ‘Ibu Kota’ Vokasi Logam membuktikan letak geografis bukan penghalang untuk menjadi pusat pendidikan vokasi kelas dunia. Dari desa nelayan yang dulu sepi, kini lahir kampus yang mencetak tenaga kerja siap tempur di industri strategis.
Pepatah tua bilang, “Besi ditempa selagi panas”. Morowali sedang panas-panasnya, dalam arti positif. Tinggal bagaimana kita menempanya jadi kekuatan yang tahan lama, bukan sekadar kilau sesaat.
Kalau dulu Morowali dikenal karena lautnya, sekarang dunia mengenalnya karena logamnya, dan di balik setiap baut, kabel, dan mesin yang bergerak, ada tangan-tangan anak muda yang pernah kuliah di PILM, bukti bahwa dari ujung Sulawesi pun, Indonesia bisa ikut menggerakkan dunia.[***]