Features

BUKU DIARI : Rabu Pagi Mendung & Kopi Pahit – Cerita Nostalgia di Perumahanku

ist

RABU pagi mendung di Kalidoni selalu menyajikan suasana yang beda, bro. Udara dingin yang menusuk kulit makin terasa pas ditemani secangkir kopi pahit. Momen ini bikin aku kebawa nostalgia masa lalu, saat hidup belum serumit sekarang dan segala sesuatunya terasa lebih sederhana. Suasana mendung yang kalem dan aroma kopi pahit itu jadi duet maut yang bikin pagi ini begitu berkesan.

Aku duduk di ruang tamu, ditemani laptop jadul merah yang mungkin sudah lebih tua dari aku sendiri. Jari jemariku menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk menghirup asap rokok Djisamso yang setia menemani pagi. Musik era 2000-an berderai lembut dari speaker kecil, membawa kenangan tentang masa-masa ketika hidup belum diatur oleh deadline dan notifikasi WhatsApp.

Di luar, pohon-pohon akasia, gelam, dan pisang berdiri diam, kayak lagi ikut merenung bareng aku. Bahkan tanaman karet yang biasanya berdiri tegap kali ini terlihat lesu, mungkin juga kedinginan atau sedang galau menunggu musim panen. Kendaraan roda dua mondar-mandir pelan di jalan perumahan Pesonan Harapan, RT 50, Kalidoni, tapi kesannya kayak film slow motion. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 7.54, tapi rasanya waktu berhenti sejenak untuk menikmati momen ini.

Suasana yang sepi ini bukan tanpa makna, bro. Kadang, di tengah kesibukan dunia yang terus berlari kencang, kita lupa untuk berhenti sejenak dan mendengarkan suara hati. Seperti pepatah bilang, “Diam itu emas,” tapi kadang diam juga berarti memberi ruang untuk mengenal diri sendiri lebih dalam. Aku pun membiarkan sunyi pagi ini menyapa, sambil menikmati rasa pahit kopi yang sebenarnya punya cerita sendiri.

Ngomong-ngomong soal kopi pahit, aku selalu teringat filosofi sederhana yang sering didengar: kopi itu seperti hidup. Dari biji kecil yang keras, harus disangrai dan diseduh dengan air panas untuk berubah menjadi sesuatu yang berharga. Begitu juga kita, bro. Dari pengalaman pahit dan manis yang kita jalani, akhirnya membentuk karakter dan kekuatan diri.

Terkadang, hidup memang seperti rabu pagi mendung ini. Nampak suram dan dingin, tapi di baliknya ada kedamaian yang tak bisa diukur. Seperti lagu nostalgia yang mengalun pelan, mengingatkan aku akan masa lalu yang penuh warna kadang lucu, kadang sedih, tapi selalu berharga.

Aku jadi teringat masa kecil, saat main layangan di halaman rumah, dikejar hujan mendadak yang bikin basah kuyup tapi tetap tertawa. Atau waktu pertama kali belajar naik sepeda, jatuh bangun yang membuat hari-hari itu penuh dengan cerita. Semua kenangan itu mengalir seperti sungai kecil yang tak pernah kering, mengisi hari-hari dengan rasa syukur dan pelajaran berharga.

Saat itu juga aku sadar, bro, sepi dan dingin di pagi mendung ini bukan sesuatu yang harus ditakuti. Seperti pohon akasia yang tetap berdiri tegak walau angin berhembus kencang, kita juga harus kuat menghadapi badai kehidupan. Kadang kita perlu merasakan pahitnya kopi supaya bisa menghargai manisnya kebahagiaan.

Sambil menghisap rokok terakhir, aku tersenyum dan menulis kalimat ini sebagai pengingat: jangan takut dengan saat-saat sulit dan sunyi. Karena dari sanalah kita belajar sabar, introspeksi, dan menemukan kekuatan tersembunyi yang selama ini terpendam.

Pagi ini, rabu pagi mendung di Kalidoni mengajarkan aku satu hal penting hidup itu bukan soal selalu cerah dan hangat. Kadang, kita harus menikmati dingin dan sepi, seperti menyeruput kopi pahit, untuk bisa benar-benar menghargai keindahan setiap momen yang datang.

Jadi bro, kalau kamu suatu saat merasa hidupmu pahit seperti kopi pagi ini, ingatlah bahwa itu adalah bagian dari perjalanan. Jangan buru-buru menolak atau lari dari kenyataan. Nikmati setiap teguknya, karena dari situlah kita menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih siap menjalani hari-hari berikutnya.[***]

Terpopuler

To Top