– Kisah Tukang Sol dari Pinggir Pasar Lemabang Palembang
Kalau kau lewat Pasar Lemabang Palembang jam tujuh pagi, jangan cuma fokus cari sayur asem dan tahu susur, Bro. Di pinggir jalan, di sela-sela suara emak-emak nawar kangkung dan bocah merengek minta es mambo, ada pemandangan yang setia muncul kayak notifikasi WhatsApp mantan lima lapak tukang sol sepatu, berjejer macam grup nasyid yang kurang personel. Di tiap lapak itu, tergantung sepatu tua penuh luka, sandal patah hati, dan benang-benang hitam nilon yang siap menyambung harapan yang putus.
Mereka bukan cuma tukang sol, tapi dokter ortopedi alas kaki, psikiater sandal jebol, dan motivator sol yang tercerai-berai. Mereka tidak pakai jas putih, tapi pakai tekad baja dan palu mungil yang tiap hentakannya menyuarakan perjuangan: hidup boleh keras, tapi sandal jangan putus.
Bayangkan ini meja kayu lapuk, beratap terpal plastik yang cuma setia waktu panas, dan angin pasar yang suka nyelekit tiba-tiba. Tapi dari lapak sederhana inilah, mereka menyulam nafkah. Satu-satu pelanggan datang, biasanya emak-emak yang habis beli bayam dan ingat sandal anaknya ketinggalan usia. Kadang ada tukang sayur mampir, kadang ada abang ojol nyangkut. Tapi pelanggan tetap mereka adalah sepatu tua yang ditinggal majikannya tapi masih berharap bisa jalan lagi.
Di era serba digital ini, bahkan sandal bisa dibeli online tapi sol sepatu masih perlu analog: dijahit manual, ditambal penuh cinta. Sepatu bermerek pun bisa letoy kalau dipakai nyebrang jalan becek Palembang. Dan ketika itu terjadi, si pemilik tak akan ke mall. Ia akan datang ke pinggir jalan, ke lapak tukang sol, karena ada harapan di balik palu kecil dan benang nilon.
Kata Pak Idris, tukang sol yang paling senior dan paling sering dikerubungi pelanggan “Sol itu kayak nasihat, Bro. Kalau pas, kuat nahan beban. Tapi kalau asal-asalan, baru dipake sebentar udah jebol”.
Setiap sandal yang mereka tangani punya kisah. Ada yang putus karena diinjak sapi waktu hajatan, ada yang jebol gara-gara lari dari utang, dan ada juga yang patah tali waktu dipakai mantan nyelonong pas lihat kamu sama yang baru.
Tukang sol sepatu ini sabar menghadapi semuanya, tanpa nanya latar belakang, tanpa menyalahkan alas kaki. Mereka cuma fokus bagaimana caranya yang rusak bisa jalan lagi. Filosofi mereka sederhana “Yang penting nyambung, soal bentuk mah belakangan”.
Bukankah hidup juga begitu? terpal bocor, tapi semangat tak luntur….
Hujan bisa datang kapan saja, kadang tanpa aba-aba, mirip tagihan paylater. Tapi tukang sol tak gentar. Terpal mereka mungkin bocor, meja mereka mungkin miring, tapi semangat mereka tegak lurus ke langit.
Pak Ujang, sambil mengipas bara arang untuk mengeringkan lem sepatu, bilang “Hidup itu kayak lem sepatu, Bro. Harus sabar nunggu kering. Kalau buru-buru, lengketnya sebentar, lepasnya cepat”
Kisah tukang sol sepatu di pinggir Pasar Lemabang Palembang bukan sekadar cerita tambal-menambal alas kaki. Ini adalah pelajaran tentang kesabaran, ketekunan, dan seni bertahan hidup di tengah zaman yang makin digital tapi tetap butuh sentuhan manusia. Mereka menunjukkan bahwa yang sederhana bisa bermakna, yang reot bisa disol, dan yang jebol bisa kembali utuh asal diberi perhatian.
Jadi, kalau kamu merasa hidupmu mulai jebol, hubunganmu lepas lem, atau semangatmu copot haknya datanglah ke pinggir jalan. Siapa tahu, selain sandalmu disol, hatimu juga ikut dijahit.[***]