HIDUP Iie Sumirat barangkali tidak viral di linimasa, tapi jejaknya menempel kuat di sejarah bulu tangkis Indonesia. Ia bukan selebritas lapangan yang hobi disorot kamera, melainkan sosok bersahaja yang diam-diam menabur benih juara.
Tak banyak bicara, tapi langkahnya membentuk arah, dari tangan dan latihannya –lah, lahir Taufik Hidayat, bocah Pangalengan yang kelak mengguncang dunia, mengangkat piala, dan kini berdiri sebagai Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga RI.
Bila hidup ini pertandingan, maka Iie adalah pelatih yang tak hanya mengajarkan pukulan, tapi juga memahat mental juara dalam diam.
Subuh-subuh buta, pukul dua dini hari, jalanan Bandung masih dingin seperti sisa embun yang belum pamit. Tapi langkah kaki Wamenpora Taufik terasa mantap menuju rumah duka di Jl. Sukabakti VII No.60.
Bukan sekadar takziah biasa, ini seperti pulang ke asal ke tempat di mana ia pertama kali menggenggam raket dengan tangan kecil dan harapan besar.
“Saya tidur di rumah beliau, lapangan dan rumahnya sebelahan, kalau nggak latihan ya tidur di situ,” kenang Taufik dengan mata berkaca. Bukan lebay, tapi memang begitu adanya, di rumah itulah, di bawah bimbingan almarhum Iie, Taufik kecil dibentuk teknik, disiplin, bahkan mungkin juga mental untuk tidak gampang tumbang saat smash lawan datang bertubi-tubi seperti tagihan listrik akhir bulan.
Guru tak sekadar mengajar
Di dunia bulu tangkis, nama Iie Sumirat bukan kaleng-kaleng, dua kali juara Thomas Cup, perunggu Kejuaraan Dunia edisi pertama, dan pemenang di Kejuaraan Asia 1976 yang legendaris.
Tapi kehebatannya bukan cuma di angka dan medali, ia adalah pelatih yang tahu cara menanamkan keyakinan, bukan sekadar teknik saja, kalau yang lain mungkin mengajarkan cara memukul shuttlecock, Iie mengajarkan kapan harus memukul bahkan yang lebih penting lagi, kenapa kita harus terus berjuang meski kalah dengan angin.
Perumpamaan gampang, kalau hidup itu seperti pertandingan tiga set, maka Iie adalah orang yang selalu tahu cara bangkit meski sudah ketinggalan poin di set kedua.
Ia mengajarkan filosofi sederhana “Olahraga itu ada batasnya, tapi semangat juang itu harus terus ada”. Sebuah kalimat yang sederhana, tapi dalamnya seperti lobang got yang belum ditutup, jatuh ke situ, bisa membuat kita merenung berhari-hari.
Di saat banyak legenda memilih pensiun ke villa atau cafe instagramable, Iie tetap memilih lapangan bulu tangkis. Di PB SGS Bandung, ia menjadi kompas bagi para pemain muda, ia juga tidak mencari panggung, tapi menciptakan panggung bagi yang lain, seperti pelita di sudut ruangan, sinarnya kecil, tapi cukup untuk membuat orang lain menemukan jalan.
Taufik mengaku, “Kalau tidak ada beliau, mungkin saya bukan siapa-siapa, dari umur 9 sampai 14 tahun, saya dibina sama beliau”. Itu bukan sekadar nostalgia, tapi juga testimoni dari seorang murid kepada guru yang sudah seperti orang tua, dan benar saja ungkap pepatah Guru yang baik menginspirasi, guru yang luar biasa menyalakan api.
Meski suasana duka menyelimuti, tetap saja terselip kenangan lucu. “Kalau saya bolos latihan, beliau tinggal ke rumah dan bilang ke ibu saya, ‘Bu, Taufik mana?. Dia harus latihan, masa kalah sama yang badannya lebih kecil!” kata Taufik sambil tersenyum. Bahkan dalam kenangan masa kecil, ada gurat disiplin yang dibungkus humor khas pelatih lapangan tegas tapi tetap manusiawi.
Mungkin di situlah letak kunci kesuksesan seorang Iie Sumirat, ia melatih bukan hanya dengan ilmu, tapi dengan hati. Ia tahu kapan harus marah, tapi tahu juga kapan harus menghibur, seperti kopi hitam tanpa gula pahit, tapi bikin melek dan sadar diri.
Kisah Iie Sumirat bukan hanya tentang bulu tangkis, namun tentang ketulusan, tentang proses, dan tentang bagaimana jejak kecil bisa membawa orang lain berlari jauh, sebab seorang Iie tidak pernah meminta dipanggil pahlawan, tapi tindakannya membuatnya layak mendapat julukan itu.
Untuk kita semua, baik yang atlet maupun bukan, kisah ini mengingatkan dalam hidup, kadang kita tidak butuh banyak panggung, tapi cukup satu hati yang percaya bahwa kita bisa.
Karena kadang, orang yang mengubah hidup kita bukanlah yang tampil di baliho besar, tapi dia yang duduk di bangku kayu lapangan, memegang raket usang, dan berkata, “Ayo, ulangi lagi, bisa itu”.
Tak ada smash yang abadi, begitu pula hidup, tapi semangat, pengorbanan, dan keteladanan bisa terus hidup dalam cerita dan ingatan.
Iie Sumirat boleh berpulang, tapi pelajaran hidup darinya terus mengalir, seperti kok yang melayang ke seberang net, tak pernah lelah memberi makna.
Selamat jalan, pelatih, terima kasih telah membuat bulu tangkis Indonesia, dan kehidupan murid-muridmu, menjadi lebih dari sekadar permainan.
“Jangan pernah meremehkan orang yang mengajarkanmu hal kecil, karena dari sanalah kamu bisa jadi besar” – (Petuah dari lapangan bulu tangkis dan kehidupan).[***]