“ORANG bijak bilang ‘Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan jejak.’ Tapi kalau Diponegoro? Mati-matian ninggalin semangat perlawanan dan kisah yang sayang kalau cuma dijadikan soal pilihan ganda di ujian sejarah SMA.”
Begitu masuk Galeri Nasional, mendadak rasa nasionalisme saya menyeruak seperti aroma rendang saat lebaran. Pameran “Nyala: 200 Tahun Perang Diponegoro”, bukan sekadar memajang lukisan-lukisan tua atau artefak yang bikin ngantuk, tapi menghadirkan sejarah seperti konser Coldplay hidup, menyala, dan penuh efek visual!
Kementerian Ekonomi Kreatif ikut nimbrung di pameran ini, bukan buat numpang selfie atau bagi-bagi goodie bag, tapi membawa semangat baru sejarah sebagai sumber kekayaan intelektual (IP) yang bisa dikemas jadi gim, film, serial, atau bahkan konten TikTok yang edukatif tanpa joget-joget alay.
Wakil Menteri Ekraf Irene Umar bilang, “Sejarah bukan cuma untuk dikenang, tapi juga dihidupkan”. Wah, kalimatnya mirip teaser film Marvel “Based on true history. Inspired for all generations”
Coba bayangkan jika Perang Diponegoro diangkat jadi series, barangkali judulnya “The Prince and The Red Coat.” Pemerannya? Mungkin Iqbaal Ramadhan bisa jadi Diponegoro muda, sementara si Kolonel Belanda diperankan Reza Rahadian dengan aksen Batavia-Belanda-campur-ngapak. Netflix, mana suaramu?
Jangan salah, di balik jubah dan sorban Pangeran Diponegoro, tersembunyi potensi ekonomi yang bisa bikin startup lokal berdiri tegak seperti bambu runcing. Kisah heroik ini bukan cuma mengandung nilai-nilai perjuangan, tapi juga punya “daya jual”. Apalagi kalau dikemas dengan gaya kekinian tanpa mengurangi substansi.
Kalau dulu Diponegoro melawan Belanda pakai tombak, hari ini kita bisa melawan kolonialisme modern lewat konten IP lokal yang mendunia.
Coba fikirkan gim mobile berjudul “Nyala: The Java Rebellion”, di mana player bisa mengatur strategi gerilya ala Diponegoro, atau serial animasi anak-anak berjudul “Pangeran di Tanah Lava”, yang ngajarin sejarah lewat petualangan imajinatif.
Seperti kata pepatah “Tak kenal maka tak sayang, tak kreatif maka tergilas zaman”. Itulah yang ingin ditegaskan Wamen Ekraf Irene bahwa sejarah adalah tambang ide tak terbatas, tinggal digali dengan alat kreatif yang tajam.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam pembukaan pameran ini juga menyampaikan bahwa Perang Diponegoro adalah salah satu perang terbesar di Indonesia. Tapi yang menarik, ia menekankan bahwa pameran ini bukan ajang nostalgia, tapi ajakan jadi kreator.
Generasi muda
Jadi, jangan bayangkan museum seperti tempat angker yang sunyi senyap. Sekarang, museum bisa jadi semacam ‘studio kreatif’ untuk generasi muda. Mau bikin podcast? Konten YouTube edukatif? Atau sekadar inspirasi nulis cerpen sejarah fiktif? Semua bisa dimulai dari satu lukisan atau fragmen sejarah.
Turut hadir pula tokoh-tokoh penting dari berbagai kementerian dan lembaga. Tapi yang lebih penting adalah ajakan mereka ayo generasi muda, jangan cuma nonton drakor dan series zombie sekali-kali nonton sejarah sendiri, karena kisah Diponegoro jauh lebih seru daripada drama kerajaan Joseon!
Pameran Nyala ini bukan hanya soal melihat masa lalu, tapi soal menggali masa depan dari tanah sejarah. Jika ditanam dengan narasi yang cerdas dan dikemas dengan kreatif, maka kisah-kisah seperti Perang Diponegoro bisa tumbuh jadi IP lokal yang mendunia. Ingat, film “Nussa” dan “Kancil” sudah masuk bioskop luar negeri, berarti kita bisa asal percaya.
Seperti kata nenek saya, “Kalau hidup jangan cuma ngikut arus, kadang-kadang harus jadi perahu yang bawa cerita sendiri.” Nah, cerita itu bisa dimulai dari jejak Pangeran Diponegoro.
Kita bukan bangsa pelupa, kita cuma perlu dipancing dengan cara yang keren. Sejarah jangan dibiarkan berdebu di rak buku perpustakaan, kita sulap sejarah menjadi saga, menjadi sinema, menjadi seri animasi, menjadi lagu, menjadi konten yang bukan cuma viral tapi juga bernilai.
Dan kalau suatu saat nanti, anak kita nanya “Ayah, siapa Diponegoro?” Maka kita bisa jawab, “Tonton di Netflix, nak. Itu kisah asli dari negeri ini, dan ayah ikut bangga karena itu dibuat oleh anak bangsa sendiri.”[***]