Seni & Budaya

Diplomasi Budaya Ala Thailand & Indonesia yang Bikin Dunia Mupeng

ist

ADA yang bilang politik itu licin kayak belut kena baby oil, maka budaya adalah sebaliknya lembut kayak tangan ibu, tapi bisa nempel ke hati siapa saja. Itulah yang dipraktikkan oleh Thailand dan Indonesia dalam merayakan ulang tahun ke-75 hubungan diplomatiknya.

Bukannya bikin seminar ngantuk atau pidato berlembar-lembar, kedua negara ini malah bikin pesta seni lintas negara yang bikin mata melek dan hati meleleh.

Acara yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta itu ibarat resepsi pernikahan dua sahabat lama yang sudah LDR-an 75 tahun tapi masih saling kirim kado dan puisi. Yang datang bukan cuma pejabat, tapi juga para penari, seniman, budayawan, dan tentu saja… fotografer yang sibuk cari angle buat feed Instagram-nya.

Wakil Menteri Kebudayaan RI, Giring Ganesha, tampil bukan hanya sebagai pejabat, tapi juga seperti host kondangan yang penuh semangat. Ia menyebut bahwa kebudayaan adalah bahasa universal. Kalau politik bisa bikin adu debat, budaya malah bikin adu senyum. Bahkan katanya, sesuai wejangan Pak Prabowo, “Budaya itu wajah bangsa. Kalau wajahnya kinclong, siapa pun jadi pengen kenalan”

Di acara ini, wajah Indonesia dan Thailand benar-benar kinclong. Bahkan bisa jadi glowing tanpa skincare. Soalnya seni yang ditampilkan bukan kaleng-kaleng. Ada tiga babak pertunjukan yang bisa bikin tukang sound system pun baper.

Tarian “Ram Auy Phon” dari Thailand dan “Puspa Mekar” dari Bali jadi seperti dua bunga mekar dari taman berbeda yang saling menyapa. Bukan sekadar tari, tapi doa. Doa yang menari. Doa yang menyelip di tiap lenggok, seolah berkata “Semoga persahabatan kita kayak nasi liwet panas, lengket, dan bikin nagih”.

Nah, ini baru namanya crossover. Episode “Sarpakenaka Ko Suek” menyajikan adegan epik penculikan Sinta dan duel seru pasukan raksasa lawan pasukan kera. Kalau Marvel bikin Avengers, kita punya Ramayana Multiverse. Jangan salah, ini bukan cuma drama tari, tapi penggabungan DNA kebudayaan yang menunjukkan kita berbeda, tapi kita bisa nari bareng!

Kalau di kampung kita ada senam pagi massal dan joget 17-an, maka babak ini bisa disebut sebagai versi internasionalnya. Tarian dari Sumatera, NTT, Kalimantan, Papua bersatu dengan tarian-tarian khas Thailand. Di ujung, mereka menari Ram Wong, yang dalam bahasa diplomasi seni artinya”Yuk, kita goyang damai bareng!”

Kebudayaan itu ibarat sambal terasi. kadang pedas, tapi bikin nambah nasi. Diplomasi budaya seperti ini bukan cuma seremonial, tapi strategi lunak yang bisa bikin dunia melirik tanpa merasa digertak.

Kata Wakil Menteri Thailand, hubungan kita bukan baru 75 tahun. Sudah dari zaman Sriwijaya, katanya. Bisa jadi, nenek moyang kita dulu sudah tukeran kaset wayang kulit dan keris edisi limited.

Apalagi sekarang, katanya bakal ada program residensi seniman. Wah, ini baru top! Seniman kita bisa magang di Thailand, dan seniman Thailand bisa ngopi-ngopi di Yogya atau Solo. Kalau seniman ketemu, biasanya tak butuh Google Translate. Cukup suara gamelan atau irama angklung, dan mereka langsung klik.

Di saat dunia kadang penuh konflik, kita justru diingatkan bahwa damai itu bisa dimulai dari panggung. Kalau kata pepatah lama, “Tak kenal maka tak sayang, tak berseni maka kurang humanis”. Dalam budaya, tak ada visa, tak ada perang urat leher. Yang ada hanya saling sapa dalam gerakan, nada, dan warna.

Jadi kalau kamu lagi suntuk sama berita dunia, ingatlah bahwa Indonesia dan Thailand baru saja membuktikan seni bisa menyatukan, budaya bisa menyembuhkan, dan tari bisa lebih tajam dari pidato politik.

Yuk, joget damai bareng!(***).

Terpopuler

To Top