Agribisnis

Tambak Berkerak ke Tambak Bertabur Rupiah, Saat Udang, Lumpur & Cuan Bersatu di Pantura

KKP

DI suatu senja di pesisir Pantura, seekor udang termenung. “Dulu kami dibudidaya dengan cinta,” keluhnya. “Sekarang? Kami hidup di tambak yang airnya sudah seperti es teh basi”. Tapi tenang, wahai udang Pantura, kabar baik datang bagai paket COD, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lagi gercep ngerombak semua!

Iya, betul. Tambak-tambak yang dulu hidup segan mati ogah di sepanjang Bekasi, Karawang, Subang, hingga Indramayu, sekarang siap naik pangkat jadi kawasan budi daya perikanan elit ala sultan.

Program revitalisasi tambak ini bukan sembarang proyek. Ini masuk dalam deretan Program Strategis Nasional (PSN), alias proyek yang nggak boleh asal-asalan kayak bikin gorengan di pinggir jalan.

Targetnya pun fantastis dari produktivitas 0,6 ton per hektare per tahun jadi 144 ton. Itu bukan naik kelas, tapi langsung naik pesawat jet.

Kalau pakai kalkulator warung kopi, volume produksi bisa tembus 1,18 juta ton. Nilainya? Rp30,65 triliun, saudara-saudara! Uangnya cukup buat beli pulsa seluruh warga Pantura selama satu dekade, plus cicil pembangunan tol udang dari Subang ke Singapura.

Dalam program ini, tambak akan disulap jadi kawasan canggih yang nggak bikin udang stres. Ada IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) buat nyaring air, ada vegetasi hijau buat bikin suasana teduh, dan ada zona budi daya, zona pendukung, serta zona penghijauan. Udangnya happy, ekosistemnya adem, dan petaninya tinggal tepuk tangan sambil panen.

Ini mirip dengan konsep Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA) di Norwegia. Di sana, udang, rumput laut, dan ikan hidup bareng dalam harmoni, saling dukung dan tidak saling nyinyir. Limbah dari satu spesies jadi nutrisi buat yang lain. Udangnya kayak punya ekosistem sosial sama seperti netizen, tapi versi produktif.

Program ini nggak bisa jalan sendiri. Karena itu KKP sudah gandengan tangan (bukan gandengan hati) dengan pemerintah provinsi dan kabupaten. Mereka sepakat bantu sosialisasi, mendata penggarap tambak, menyiapkan tenaga kerja lokal, dan bikin proses perizinan yang tidak berbelit seperti kabel charger di laci.

Tapi ingat, jangan cuma ramai saat konferensi pers dan tanda tangan MoU. Habis itu, hilang seperti janji kampanye. Petani tambak butuh pendampingan, bukan cuma dokumentasi. Jangan sampai udangnya tumbuh sehat, tapi petaninya malah tumbuh stres.

Program ini juga harapannya bisa menggoda investor bukan dengan rayuan gombal, tapi lewat kesiapan infrastruktur dan kepastian hukum. Kita butuh pendekatan seperti Thailand saat membangun kawasan budi daya di pesisir Songkhla.

Pemerintahnya bikin kawasan khusus, lengkap dengan pelabuhan mini, cold storage, dan pelatihan digital marketing buat petani udang. Investornya pun berdatangan, dan udangnya jadi selebgram ekspor.

Kalau Pantura mau seperti itu, ya jangan cuma andalkan semangat nasionalisme dan pantun pembukaan rapat. Perlu kejelasan dari zonasi, peta risiko, hingga ketersediaan listrik dan jalan. Jangan sampai tambaknya sudah modern, tapi sinyal HP-nya tetap E.

Program ini cakep, tapi jangan sampai jadi program yang “mahal di mimbar, murah di lapangan”. Terlalu sering kita lihat proyek bagus yang akhirnya tinggal nama, karena eksekusinya kayak sambal kurang garam, lempeng dan bikin kecewa.

Petani tambak butuh pelatihan berkelanjutan, akses pembiayaan ringan, dan teknologi yang gak bikin pusing. Kalau bisa, bangun juga koperasi digital, biar petani nggak ketergantungan tengkulak yang tiap pagi ganti harga seenaknya.

Ingat, revitalisasi bukan cuma soal infrastruktur, tapi juga soal manusia dan mentalitas. Karena tambak bisa dibangun dalam dua bulan, tapi kepercayaan petani? Kadang butuh bertahun-tahun dan puluhan cangkir kopi.

Kata ibu saya, “Kalau kamu pengen hidup tenang, jangan cuma cari uang, tapi pelihara lingkungan”. Nah, revitalisasi tambak ini adalah kesempatan emas. Sekali mendayung, kita bisa panen udang, menjaga ekosistem, dan membangun ekonomi lokal.

Seperti kata José Graziano da Silva, mantan Direktur Jenderal FAO “Sustainable aquaculture is not a choice, it is a necessity”. Budi daya berkelanjutan bukan pilihan, tapi keharusan.

Tambak bukan sekadar lahan berlumpur, tapi ladang harapan bagi ribuan keluarga. Jangan biarkan tambak-tambak itu tidur panjang seperti kisah mantan yang belum move on. Ayo kita bangunkan, kita poles, dan kita bikin tambak jadi sumber kehidupan sekaligus sumber tertawa.

Karena di negeri yang tiap hari dibanjiri sinetron politik, kita butuh sesuatu yang lebih segar. Dan percayalah, melihat udang lompat-lompat bahagia di tambak, jauh lebih menyenangkan daripada nonton drama pencalonan pejabat.

Salam dari Pantura!
Udangnya bahagia, rakyatnya ketawa, dan ekonominya… semoga nggak masuk angin.[***]

Terpopuler

To Top