DUNIA sepak bola, ada dua hal yang tak bisa diajarkan oleh pelatih mana pun naluri mencetak gol dan hati yang tak kenal lelah.
Nah, di pertandingan perempat final HYDROPLUS Piala Pertiwi 2025 antara Papua vs Yogyakarta kemarin, dua-duanya nongol kayak sinyal WiFi tetangga nggak bisa ditebak tapi mematikan.
Adalah Kristian Tareo Bapan, kapten yang tak cuma punya nama panjang macam formulir pendaftaran kuliah, tapi juga kaki yang seperti sudah disponsori oleh energi matahari. Empat gol ia borong sendirian, dengan tempo yang mirip promo flash sale: menit 2, lalu gas lagi di 53, 55, dan 58. Gawang Yogyakarta sampai kayak ATM rusak tiap ditekan malah keluar angka.
Sementara itu, tim Yogyakarta sempat membalas satu lewat penalti sang kapten, Ratu Aisha Binar. Tapi sayangnya, setelah gol itu, stamina mereka mulai seperti baterai ponsel jadul hanya tahan sampai WhatsApp dibuka dua kali.
Pelatih Papua, Touskha Oktafia Stevelien Iba yang namanya kalau diundang ke acara seminar bisa makan dua baris spanduk menyampaikan rasa syukur dan sadar betul bahwa timnya baru ngumpul dua hari sebelum latihan. Boro-boro uji coba, kumpul buat kenalan aja baru sempat. Tapi seperti kata pepatah, “Air bisa menemukan jalannya sendiri, apalagi kalau dibantu doa dan semangat kolektif yang nyala kayak kompor gas empat tungku”
Touskha tahu persis bahwa timnya belum sempurna. Tapi toh di dunia ini siapa sih yang sempurna? Bahkan Lionel Messi pun pernah kena offside. Yang penting, katanya, “Kami akan terus memperbaiki semua lini, dari belakang sampai kiper, termasuk gaya selebrasi kalau menang”. Nah, ini baru pelatih yang paham bahwa sepak bola juga soal drama.
Di sisi lain, pelatih Yogyakarta, Ixsan Fajar Pranoto, dengan jujur mengakui bahwa anak asuhnya kalah dari segi fisik. Ini seperti balapan lari antara yang tiap pagi jogging sama yang tiap pagi rebutan kerupuk. Niatnya kuat, tapi nafasnya pendek.
Menurut Ixsan, lima menit terakhir jadi neraka kecil bagi timnya. Tiga gol Papua seperti hujan es di tengah konser bikin buyar semua konsentrasi. Tapi tetap, Yogyakarta tampil sportif dan menunjukkan bahwa semangat tak harus selalu dibayar dengan skor.
Coba tengok Jepang saat membentuk tim sepak bola wanita mereka sebelum jadi juara dunia 2011. Tim itu dulunya bukan siapa-siapa. Tapi dengan latihan disiplin, semangat pantang menyerah, dan nasi kotak yang penuh cinta, mereka mampu mengejutkan dunia.
Atau lihat Islandia, negeri kecil yang bahkan jumlah penduduknya kalah sama penonton konser dangdut. Tapi sepak bolanya bisa tembus Piala Dunia. Kuncinya? Sistem pembinaan dan mentalitas baja. Sisanya tinggal percaya dan nari Viking Clap rame-rame.
Seperti kata Nelson Mandela “Sport has the power to inspire. It has the power to unite people in a way that little else does”. [“Olahraga punya kekuatan untuk menginspirasi. Ia punya kekuatan untuk menyatukan orang-orang dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh hal lain”].
Dan benar saja, semangat anak-anak Papua ini bukan cuma bikin gol, tapi bikin kita semua percaya bahwa dengan persiapan seadanya pun, kemenangan bisa dicetak asal hati dan kaki satu ritme.
Di dunia yang penuh kompetisi ini, kadang yang kita butuh bukan teknologi canggih atau taktik luar biasa. Tapi cukup dengan niat yang jujur, usaha yang ulet, dan satu dua doa yang dikirim dari rumah-rumah di pelosok Papua. Maka hasilnya pun manis, bahkan lebih manis dari teh manis di warung padang.
Kemenangan Papua ini bukan sekadar skor. Ini cerita tentang semangat, tentang kerja keras yang tak menunggu sempurna dulu baru jalan. Ini juga tentang doa dan keyakinan yang seringkali diremehkan di zaman serba hitung-hitungan statistik.
Kristian Tareo bukan cuma pencetak gol. Ia simbol bahwa kalau kita percaya dan terus menekan hidup dengan semangat press, press, press, lama-lama dunia juga akan memberikan ruang untuk kita mencetak gol-gol terbaik dalam hidup.
Dan kalaupun nanti kalah di semifinal, setidaknya Papua sudah membuktikan satu hal Bahwa dalam sepak bola dan hidup, semangat tak pernah tahu arti kekalahan.
Sebab seperti kata pepatah lama dari tanah Bugis, “Sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian” atau kalau dalam bahasa fans bola “Sekali tendang kena mistar, besok tetap latihan, bukan nyerah jadi komentator”
Salam semangat, dan jangan lupa: kalau hati masih panas, jangan langsung komentar di medsos komentarlah di lapangan, biar lebih berbobot dan nggak bikin jempol orang lain panas juga.[***]