SETIAP kota menyimpan denyut hidupnya di tempat-tempat yang tak selalu glamor, bukan mal mewah, bukan perkantoran dengan lift canggih, tapi di pasar tradisional, di mana keringat dan cerita rakyat tumpah tanpa sensor.
Di sanalah kehidupan benar-benar terasa hidup teriakan pedagang, tawa pembeli, aroma terasi, dan jejak tapak kaki yang kadang harus meniti genangan air sisa cucian ayam potong.
Salah satu yang menyimpan denyut itu adalah Pasar Jaya Teluk Gong, Jakarta Utara. Pasar yang mungkin tak tercetak di brosur wisata, tapi setiap hari menjadi panggung ratusan drama kecil, seorang ibu yang menawar setengah harga sambil gendong anak, seorang pedagang yang tetap senyum meski cabainya basi, dan tentu saja drama yang tak pernah absen drama sampah.
Sampah di pasar bukan sekadar tumpukan sisa, ia adalah cermin, cermin dari pola hidup kita, cermin dari kebiasaan buang-lalu-lupakan yang sudah jadi budaya.
Kita, masyarakat urban, seringkali hanya tahu satu hal beli–pakai–buang, lalu berharap ada petugas yang akan mengurusnya diam-diam. Sampah jadi seperti perasaan yang tak sempat diungkap disimpan diam-diam, padahal pelan-pelan membusuk.
Di Pasar Teluk Gong, setiap hari sekitar 4 meter kubik sampah lahir, sungguh produktif. Bahkan lebih konsisten dari jadwal upload YouTuber.
Di dalamnya ada cerita kulit semangka dari pedagang buah, plastik rewel dari pembungkus tahu, bulu ayam yang gugur di medan perjuangan, dan kadang ada tamu misterius sendok plastik nyasar, seolah sedang tersesat dari acara hajatan.
Namun, tak seperti kebanyakan tempat lain yang memilih menutupi kenyataan ini dengan kata-kata manis atau karung plastik besar, pengelola Pasar Teluk Gong memilih jalan berbeda. Jalan sunyi, jalan berbau tak sedap, tapi penuh harapan jalan pengelolaan sampah yang benar.
Suatu hari, datanglah seorang tokoh yang tak biasa Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala BPLH. Beliau tidak datang untuk mencicipi jajanan pasar atau selfie di lapak sayur. Ia datang untuk menengok apa kabar sampah kita hari ini.
Langkah beliau menyusuri pasar itu, seperti seorang dokter yang menengok pasien lama waspada, penuh tanya, tapi berharap.
Ternyata, hasilnya tidak membuat dahi berkerut, ada harapan ditumpukan yang selama ini kita sebut kotor. Pasar ini sudah memilah sampah dari sumbernya, organik ke sini, anorganik ke sana, B3 jangan disentuh tanpa cinta.
Sampah-sampah yang dulu dianggap kutukan kini ditata ulang perannya. Organik diolah sebagian jadi kompos, sebagian jadi pupuk cair, sebagian jadi makanan larva maggot BSF.
Siapa sangka, dari kulit pepaya yang dulu dipijak-pijak tanpa rasa, kini bisa lahir kompos yang menyuburkan halaman rumah dari sisa nasi basi, bisa lahir cairan penyubur yang bisa membuat tanaman tumbuh percaya diri.
Dan si maggot?, dulu mungkin dipandang jijik, tapi sekarang, mereka adalah pekerja senyap nan mulia, mereka makan limbah, diam-diam, tanpa komplain, mereka juga tak demo, tak minta subsidi. Mereka cuma minta kita tak serampangan membuang sisa makanan, sebuah teladan yang lebih elegan dari sebagian pejabat negara.
Sementara itu, sampah anorganik tidak ditinggal diam, plastik dikumpulkan mingguan. Kardus, botol, dan kaleng tak lagi dilempar sembarangan bahkan bulu ayam dan tempurung kelapa yang selama ini mungkin hanya dilihat sebagai hiasan got, kini jadi komoditas.
Ekonomi sirkular
Ada ekonomi sirkular yang mulai tumbuh bukan mimpi akademis dari seminar di hotel berbintang, tapi praktik nyata di lorong sempit pasar. Nilai-nilai baru lahir dari yang selama ini dianggap tak bernilai. Barang buangan kini punya harga, punya peluang, dan punya masa depan.
Oleh karena itu, truk pengangkut sampah yang dulu harus siaga tiap pagi, kini bisa beristirahat, mereka hanya datang tiga sampai empat hari sekali. Dulu mungkin mereka seperti driver ojol yang harus siap kapan saja. Sekarang? mereka bisa ngopi dulu karena beban mereka dikurangi oleh sistem yang sudah bekerja.
Namun seperti kata pepatah “Jangan bilang rumahmu bersih hanya karena tamunya duduk di ruang tamu. Lihat dulu dapur dan kamar mandi”
Menteri Hanif pun memberi catatan, meski pengelolaan sudah baik, masih ada yang belum tersentuh sampah B3. Limbah seperti baterai, kemasan sabun keras, hingga sisa-sisa bahan kimia, masih belum tertangani optimal. Dan inilah yang sering jadi jebakan.
Kita terbuai oleh keberhasilan di permukaan, tapi lupa pada yang tersembunyi seperti hubungan yang kelihatan mesra di Instagram, tapi sebenarnya saling blokir di WhatsApp.
Pasar Teluk Gong adalah cermin kecil dari masa depan, ia memperlihatkan bahwa perubahan bukan soal anggaran besar, bukan soal teknologi rumit. Tapi soal niat dan sistem.
Soal mau atau tidak, soal membangun kesadaran bahwa setiap kulit bawang yang kita buang sembarangan, setiap plastik yang kita tancapkan ke tanah, adalah warisan pahit untuk generasi cucu kita nanti.
Pasar ini mengajarkan bahwa tempat yang selama ini dianggap sumber kekacauan justru bisa jadi pionir perubahan.
Dan jika pasar dengan segala riuh, bau amis, dan keterbatasannya bisa melangkah ke arah berkelanjutan, lalu alasan kita apa?
Sampah bukan soal kotor atau bau, ia adalah soal pilihan, kita bisa memilih membuang tanpa peduli, atau mulai memikirkan ke mana ia akan berakhir, karena sejatinya, sampah adalah jejak dari gaya hidup dan gaya hidup itu adalah refleksi dari siapa kita sebenarnya.
Kalau Pasar Jaya Teluk Gong bisa berubah, maka kita juga bisa.
Cuma butuh satu hal sedikit rasa tanggung jawab, dan niat untuk tidak cuek, sebab seperti kata Mbah kakek saya”Kalau kamu hidup cuma mau enaknya doang, nanti cucumu yang kebagian baunya”
“Tidak semua yang bau itu harus dibuang, kadang, ia hanya butuh disentuh dengan kesadaran”.[***]