Industri Kreatif & UKM

Locton & Filosofi Kakao, Limbah Pun Punya Masa Depan Cerah [“Kalau Semua UMKM Sejenius Ini, Menteri Bisa Pensiun Dini”]

ekraf

“Di dunia yang makin pahit ini, satu-satunya yang boleh manis itu cuma cokelat dan niat baik” – Petuah Mbah Sarip,[kakeknya Sarip Petir…he..he] 1997

KALAU dulu orang bilang cinta itu manis kayak gula, mungkin mereka belum pernah nyicipin cokelat Locton, karena setelah kunyahan pertama, bukan cuma lidah yang meleleh, tapi juga hati, kenangan masa kecil, dan rencana pensiun dini.

Begitulah kira-kira pengalaman batin Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, saat main ke Locton Cacao Official Store di Bali sampai-sampai beliau nyeletuk ini “Willy Wonka Factory versi Indonesia”. Nggak main-main. Ini bukan pujian sambil lalu. Ini pujian yang diselipin air liur bahagia.

Locton ini ibarat kalau dalang Ki Manteb ketemu chef Gordon Ramsay, lalu mereka sepakat, yuk kita bikin cokelat pakai cerita dan kearifan lokal.

Jadilah gerai ini bukan sekadar toko, tapi lebih mirip tempat pertapaan rasa, di mana cokelat bukan cuma manis, tapi punya makna dan masa depan.

“Ini bukan soal jualan cokelat,” kata Bu Irene dengan pandangan dalam dan mulut masih kecokelatan dikit. “Ini soal cerita dan gerakan”. Wah, kalau kayak gini, penulis skrip sinetron harus waspada, bisa-bisa kalah narasi.

Salah satu yang bikin Locton jadi pembeda adalah kemampuannya menyulap limbah jadi cinta. Kulit biji kakao yang dulu cuma jadi penggembira di tong kompos diolah jadi chocolate husk tea.

Rasanya? Katanya sih kayak teh yang habis dipeluk cokelat selama tujuh hari tujuh malam. Inovasi ini kayak pepatah nenek moyang yang dimodifikasi. “Jangan remehkan kulit, karena di situlah letak gurihnya hidup,”

Kalau dulu cokelat lokal cuma jadi bonus saat mampir ke toko oleh-oleh dan ditinggal di kulkas sampai Lebaran tahun depan, sekarang dia mulai naik kasta.

“Kopi sudah jadi identitas kita,” kata Bu Irene. “Tapi cokelat bisa menyusul, bahkan dengan daya emosional lebih dalam.” Ini bukan omong kosong. Ini omong cokelat.

Locton menyuguhkan omakase chocolate, kayak sushi tapi isiannya bukan ikan, melainkan perasaan. Setiap gigitan ada narasi, ada kejutan. Kalau ini masuk kurikulum, mungkin anak-anak bakal semangat belajar sejarah “Cokelat pertama ditemukan oleh bangsa Maya, dan kini dihidupkan kembali oleh bangsa Kuta”

Yang lebih ngena dari cokelat Locton bukan cuma rasanya, tapi gerakannya. Di balik batang cokelat ada petani, ada perajin, ada tukang desain, ada storyteller. Ini bukan UMKM. Ini semesta rasa. Kayak sinetron Ramadan, tapi semua pemerannya kerja beneran.

Bu Irene menyebut ini the new engine of growth. Tapi buat kami rakyat jelata, ini lebih cocok disebut mesin bahagia. Karena di zaman yang penuh tagihan dan cicilan, kadang kita cuma butuh sepotong cokelat dan sepotong harapan.

Cokelat Locton bukan sekadar manis di mulut. Ia juga manis di niat. Ia menolak untuk sekadar jadi barang jualan yang numpang lewat. Ia mau jadi bahasa. Bahasa tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita mau pergi (spoiler: ke Kuta, buat nyicip omakase chocolate).

Dan pemerintah pun tak sekadar numpang selfie. Mereka ingin menduplikasi semangat Locton ke daerah-daerah lain. Bukan sekadar duplikasi fisik, tapi ruh-nya. Karena katanya, “Dari rasa bisa lahir transformasi. Dari cokelat bisa lahir masa depan.” Dan dari tulisan ini, semoga bisa lahir promo gratis satu bungkus cokelat, aamiin.

Kita hidup di zaman di mana hal manis sering disangka modus. Tapi kalau manisnya datang dari biji kakao yang dipeluk cinta lokal, itu bukan modus, itu momentum. Cokelat bukan cuma soal makanan. Ia bisa jadi gerakan. Dan siapa tahu, satu batang cokelat bisa lebih efektif dari satu pidato kampanye.

Jadi kalau kalian ke Bali dan lewat Surya Mas Square, jangan cuma foto di depan gerai sambil bilang “ciee aku Willy Wonka Indonesia”. Masuk, rasakan. Karena kadang, hal paling revolusioner bisa dimulai dari kunyahan pelan dan senyum tulus setelah gigitan pertama.

Di negeri yang kadang lebih ribut soal gimmick politik ketimbang gagasan konkret, Locton datang, seperti segelas teh husk hangat di sore hari tenang, dalam, dan punya aroma masa depan.

Dari cokelat, mereka ngajarin kita banyak hal bahwa cerita bisa jadi komoditas, limbah bisa jadi inovasi, dan daerah bisa jadi pusat dunia asal dikelola dengan otak dan hati.

Locton bukan cuma bikin orang kenyang, tapi juga bikin orang berpikir “Loh, ternyata jualan cokelat bisa sekeren ini ya?”

Dan kalau lebih banyak UMKM lokal berani bikin produk yang bukan cuma enak tapi juga punya nilai, mungkin kita nggak perlu lagi malu ngaku-ngaku “produk lokal”. Kita malah bisa bilang dengan bangga “Ini loh, rasa Indonesia yang siap ekspor gagasan”

“Jangan cuma cari rasa manis dari hubungan, cobain dulu rasa manis dari perjuangan.”

“Kalau kulit biji kakao aja bisa punya masa depan, apalagi kamu, Nak

Pepatah hari ini“Lebih baik jatuh cinta pada cokelat, daripada jatuh di lubang yang sama”.[***]

 

Terpopuler

To Top