Sumselterkini.co.id,- Setiap tahun, ketika daun-daun mulai gugur bukan karena musim semi, tapi karena suhu panas nyaris setara setrika level maksimal, kita pun kembali diguncang sebuah rutinitas tahunan yang makin akrab karhutla. Ya, kebakaran hutan dan lahan itu seperti mantan posesif, walau sudah diusir berkali-kali, eh datang lagi, bahkan makin berani. Bedanya, mantan kadang cuma bawa luka hati, karhutla bawa sesak napas, kabut asap, dan kadang-kadang surat panggilan dari interpol udara.
Di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), para pemangku kepentingan sudah bersiap. Rapat Koordinasi Penanggulangan Bencana Karhutbunlah tahun 2025 digelar seperti gladi resik menghadapi neraka edisi kemarau. Dari Bupati, Sekda, Forkopimda, TNI, Polri, BPBD, hingga 36 perusahaan dari sektor tambang, kebun, dan migas, semuanya dikumpulkan. Lengkap, tinggal nunggu nasi kotaknya dibagikan.
Tapi mari kita jujur, rapat koordinasi itu ibarat nyalain lampu hazard waktu nyelonong di jalan tol, kelihatan keren, tapi belum tentu menolong. Apalagi kalau niatnya cuma rapat, bukan tanggap. Karhutla ini bukan soal siapa yang paling cepat menyalahkan, tapi siapa yang paling siap memadamkan bahkan sebelum api itu sempat menyala.
Bupati Toha sudah wanti-wanti agar perusahaan jangan cuma pasang spanduk bertuliskan “Kami Menolak Karhutla”, lalu balik ke kantor ber-AC sambil ngetik laporan CSR. Kalau cuma begitu, monyet di hutan juga bisa bikin deklarasi pakai daun pisang. Yang dibutuhkan adalah aksi embung disiapkan, sumur bor ditanam, personel dilatih, dan tim patroli dibentuk bukan buat jaga portal kebun, tapi buat cegah kebakaran.
Seperti kata pepatah lama “Lebih baik mencegah daripada menunggu viral”, karena begitu lahan terbakar, yang viral bukan solusi, tapi kabut asap yang kirim salam sampai ke negeri tetangga.
Komandan Kodim Letkol Erry Dwianto sudah menyampaikan bahwa sebagian besar karhutla berasal dari ulah manusia. Entah itu pembukaan lahan dengan cara bakar, atau barbekyuan tidak pada tempatnya. Maka seperti kata orang bijak “Jika kau tak bisa memadamkan, maka jangan nyalakan!”.
Tapi kita juga harus adil, jangan semua disalahkan ke petani kecil. Seringkali, yang nyalakan api justru perusahaan besar, tapi yang ditangkep malah Pak Karyo yang cuma numpang lewat bawa cangkul. Penegakan hukum, seperti yang ditegaskan Kajari Muba, harus merata, tak pandang helm proyek atau sendal jepit.
Tengok negara tetangga, di Australia, yang juga rutin menghadapi kebakaran lahan saat musim panas, mereka punya sistem early warning berbasis satelit dan sensor panas yang disebar bahkan sampai di hutan. Masyarakat diajari sejak kecil bahwa api itu bukan mainan. Di Indonesia, kadang justru anak-anak diajak selfie depan api unggun lahan sambil upload ke TikTok.
Di Jepang, tak ada lahan yang dibiarkan tanpa pemantauan, dan teknologi pemadamnya bisa dikendalikan jarak jauh. Di kita? Baru terbakar 3 hektar, baru sibuk cari nomor BPBD. Padahal call center-nya sering tak aktif karena ‘sedang shalat’ sejak 2019.
Ingat, karhutla itu bukan bencana alam. Itu bencana akal pendek, kalau gempa kita tak bisa cegah, tapi karhutla asal semua pihak punya niat dan akal sehat bisa kita hindari. Musim kemarau pasti datang, Kkalau setiap tahun kita gagap hadapi karhutla, itu bukan karena alamnya jahat, tapi kita yang terlalu santai seperti tahu bulat digoreng dadakan.
Jangan sampai tahun depan, rapat koordinasi ini diulang lagi dengan naskah yang sama, pembicara yang sama, bahkan jokes yang sama “Mari kita cegah sebelum terbakar”.
Tapi realitanya, setiap tahun kita hanya lebih pintar memadamkan, bukan mencegah.
Rakyat tak butuh seremoni, tapi solusi. Alam tak bisa disuap pakai dana CSR, tapi bisa dijaga dengan hati nurani. Mari kita semua berhenti main api, karena kalau sudah terbakar, yang rugi bukan hanya lahan, tapi nama baik kita sebagai manusia yang katanya berakal. Dan ingat, seperti kata pepatah modern “Bumi bukan warisan nenek moyang, tapi pinjaman dari cucu. Kalau mau diwariskan, tolong jangan hanguskan”.
Jangan biarkan karhutla jadi agenda tahunan yang kita rayakan dengan rapat, bukan dengan solusi karena kalau tahun depan kita masih bicara hal yang sama di ruangan yang sama, maka itu bukan bencana alam lagi. Itu sudah jadi bencana budaya, budaya cuek, budaya lambat tanggap, budaya pura-pura sibuk.”Hutan yang terbakar itu bukan hanya lahan yang hilang, tapi akal sehat yang ikut hangus. Maka mari padamkan apinya, sebelum logika dan nurani ikut jadi abu”[***]