Sumselterkini.co.id, – Kalau dulu santri identik dengan kitab kuning, sarung kotak, dan sandal jepit yang kadang hilang saat hujan turun, kini mereka mulai didandani menjadi insan kreatif. Bukan cuma jago mengaji, tapi juga bisa ngedit video dakwah, bikin konten Instagram yang menggugah iman, sampai bikin usaha kopi kekinian dengan nama seperti “Ngopi Bareng Imam”.
Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya menerima kunjungan DPR Aceh dan menyampaikan program “Santri Kreatif”, kita tak bisa cuma mengangguk sopan. Ini bukan wacana meninabobokan, ini potensi menggemparkan!.
Coba bayangkan, jika para santri yang selama ini kita kira hanya jago tafsir dan tahsin, tiba-tiba bisa bikin gim Islami, aplikasi doa harian berfitur augmented reality, atau bahkan membuka startup digital bertema kearifan lokal Aceh, bisa-bisa pesantren di Bireuen jadi Silicon Valley-nya Serambi Mekkah.
Sebagaimana pepatah lama, “Orang bijak bukan hanya memelihara akhlak, tapi juga mengolah akal dan rezeki”. Maka sudah saatnya kita geser persepsi santri bukan hanya calon ustaz, tapi juga bisa jadi CEO, content creator halal, atau bahkan produser film religi yang masuk Netflix.
Apalagi Aceh punya Dinas Pendidikan Dayah, satu-satunya di Indonesia, ibarat punya dapur besar, tinggal diberi resep ekonomi kreatif, dimasak dengan kompor teknologi, dan dihidangkan untuk pasar dunia.
Kalau di Jepang ada Cool Japan untuk promosi budaya anime dan makanan khas, kenapa Aceh tidak bisa bikin Cool Dayah?. Di Korea Selatan ada program K-Startup Grand Challenge yang mengorbitkan wirausaha muda, kenapa di Indonesia tidak ada S-Startup alias Santri Startup Challenge?.
Kita juga harus membuang jauh-jauh prasangka bahwa dunia kreatif itu hanya milik mereka yang nyentrik atau “nyeleneh”. Dalam ekonomi kreatif, konten Islami, batik digital, kerajinan bordir Aceh, bahkan lagu-lagu sholawat dengan aransemen kekinian bisa menjadi produk yang cuanable.
Menteri Teuku Riefky benar, santri perlu modal, tapi bukan hanya modal dalil, mereka butuh pelatihan, alat produksi, koneksi pasar, bahkan mentor branding, jangan sampai santri hanya dilatih membuat kerajinan tasbih, tapi tidak diajari cara menjualnya di e-commerce, Itu sama saja kayak punya nasi goreng enak tapi tak tahu cara buka warung.
Apa yang disampaikan Komisi VII DPRA dan Dinas Pendidikan Dayah sudah pas, tapi perlu diingat, kolaborasi tanpa eksekusi hanya akan jadi seremonial yang mirip pengajian buka bersama ramai di awal, kenyang di tengah, bubar setelah salam.
Harus ada anggaran yang pasti, jangan sampai ekonomi kreatif untuk santri hanya hidup dari spanduk dan proposal, kalau bisa, Aceh punya “Dana Santripreneur Nasional” yang bersumber dari APBN, khusus untuk pesantren yang punya unit ekonomi kreatif, bahkan lebih baik lagi kalau nanti lahir BUMDayah [Badan Usaha Milik Dayah].
Buka jendela dunia
Mari kita bantu para santri membuka jendela dunia, biarkan mereka menyebar nilai Islam bukan hanya lewat mimbar, tapi juga melalui platform digital, film, musik, dan produk kreatif yang merambah pasar global.
Dulu, para wali menyebarkan agama dengan seni, budaya, dan keteladanan. Kini, santri zaman now bisa menyebarkan nilai-nilai kebaikan melalui YouTube, TikTok halal, hingga NFT Islami, karena seperti kata pepatah Aceh “Ureueng leubeh, hana meutuwah nyang hana nyang that.” (Orang hebat adalah yang tak hanya pandai berkata, tapi juga bisa berbuat nyata).
Kalau santri Aceh diberi ruang dan dukungan, jangan kaget kalau suatu hari nanti ada nama Ustaz Farhan yang bukan cuma trending di TikTok, tapi juga masuk daftar 30 Under 30 Forbes Asia untuk kategori Faith-Based Digital Economy.
Dan kalau itu terjadi, ya, kita tinggal teriak “Alhamdulillah, ekonomi kreatif santri bukan sekadar wacana!”.