DALAM pandangan sosiolinguistik, bahasa digunakan sehari-hari oleh siapa saja dalam transaksi apa saja sebagai alat komunikasi antarmanusia, yang dicirikan dengan penggunaan simbol-simbol lisan dan tertulis secara acak (arbitrer) sesuai makna yang diterima masyarakat penutur.
Bahasa dipandang sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan struktur masyarakat yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu sendiri. Bahasa dipandang sebagai tingkah laku sosial (social behavioris) yang dipakai dalam berkomunikasi.
Di dalam kegiatan berkomunikasi, masyarakat bisa menggunakan komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal atau lebih dikenal dengan nama bahasa isyarat. Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral).
Sementara, komunikasi nonverbal ialah merupakan kebalikan dari komunikasi verbal yakni suatu proses komunikasi atau penyampaian pesan maupun informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain tanpa adanya suatu ucapan atau kata-kata, tetapi caranya menggunakan gerakan atau isyarat.
Penggunaan bahasa isyarat ini untuk mendukung ataupun memperkuat bahasa komunikasi lisan. Salah satu jenis dari bahasa nonverbal itu adalah bahasa tubuh. Artinya, berkomunikasi menggunakan anggota tubuh mananusia, termasuk penggunaan jari tangan manusia.
Bahasa juga berhubungan dengan tanda dan makna. Dalam ilmu linguistik disebutdengan ilmu semiotik dan semantik. Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Menurut Piliang (1998:262). penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa.
Bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri akhir-akhir ini ada hal menarik yang menjadi perhatian masyarakat tentang simbol atau tanda penggunaan jari. Acungan satu jari dan dua jari menjadi multitafsir.
Interpretasimakna pun berbeda-beda, tergantung pemakna dan konteks yang menjadi permasalahannya. Suasana politik menjelang pemilihan presiden yang akan datang, simbol satu jariataupun dua jari menjadi isu yang sangat sensitif.
Dari kedua simbol jari tersebut, apa pun bisa menjadi isu yang ‘digoreng’ untuk kepentingan politik. Orang yang mengacungkan jarinya, baik satu jari maupun dua jari akan berurusan dengan hukum kalau tidak pada konteksnya. Seperti dari pemberitaan di media yang lagi hangat, seorang gubernur dipanggil Bawaslu akibat mengacungkan dua jarinya .
Pada sebuah acara partai pendukung salah satu calon presiden. Begitu juga pemberitaan yang lain, seorang pembantu presiden (menteri) dilaporkan telah melanggar aturan kampanye. Itupun dikarenakan bahasa isyarat satu jari. Saling lapor terjadi akibat simbol acungan jari ini.
Acungan jari, baik satu jari maupun dua jari menjadi fenomena yang menarik ketika dikaitkan dengan situasi politik. Dalam ajang pemilihan kepala dari tingkat daerah hingga Negara (presiden) selalu berkaitan dengan nomor urut peserta calon. Seperti calon presiden yang hanya diikuti oleh dua calon, maka nomor satu dan dua inilah yang menjadi simbol kedua calon.
Simbol satu jari ataupun simbol dua jari mempermudah kedua calon berkomunikasi untuk menarik massa pendukung. Di sinilah kekuatan simbol jari sebagai Bahasa isyarat pemikat calon pemilih. Oleh karena itu, seseorang yang dianggap dapat menarik massa pendukung salah satu calon akan berurusan dengan hukum saat mengacungkan jarinya bukan pada situasi dan konteks yang ada.
Namun demikian,massa yang berkumpul dengan mengangkat jarinya (satu atau dua jari) tanpa ada yang menyuruh pun akan dianggap berkaitan dengan isu politik. Itulah kegamangan politik terhadap simbol satu atau dua jari. Semoga damai.[**]
Penulis : Dr. Darwin Effendi, M.Pd.
Dosen Universitas PGRI Palembang