Uncategorized

Pakar Hukum Pers itu Telah Pergi

Foto : istimewa

KABAR duka itu saya terima dua hari setelah kembali dari Banjarmasin menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2020 tanggal 9 Februari 2020. Pada Selasa, 12 Februari 2020 sekitar pukul 15.00 saya menerima kabar duka dari istri saya Aina Rumiyati Aziz yang tengah berada di Pangkalpinang. Pesannya melalui WA, “Mas Pak Mus meninggal.”

Pak Mus nama lengkapnya Prof Dr H Mustafa Abdullah SH, istri saya memanggil Pak Mus dengan “Om” karena dia adalah kolega ayah istri saya Abdul Aziz Numal yang sama-sama kuliah di Fakultas Hukum (FH) Universitas Sriwijaya (Unsri) kemudian sama-sama mengabdi di almamater-nya sebagai dosen dan sama-sama pernah menjabat Dekan FH Unsri pada kurun waktu yang berbeda.

Usai shalat Asar saya langsung menuju ke rumah duka Guru Besar Hukum Pidana pada FH Unsri. Pak Mus dan keluarganya tinggal di Komplek Perumahan Dosen Unsri  terletak di Jalan Masjid Al-Ghazali, Palembang.

Dalam perjalan dari rumah saya terkenang Mustafa Abdullah dalam kapasistasnya sebagai Pakar Hukum Pers atau Hukum Pidana Pers. Dalam beberapa tahun terakhir memang sudah lama tidak bertemu langsungnya dengan. Tapi saya tidak bisa melupakan jika kami bertemu, maka topik diskusi lebih banyak tentang pers dari pers era Orde Baru sampai pers era Reformasi yang disebut era kemerdekaan pers.

Saya menyebut Pak Mus sebagai salah seorang pakar hukum pers diantara sedikit pakar hukum pers di negeri ini sejak era Orde Baru, diantaranya Prof Oemar Seno Adji dan Prof Loebby Loqman keduanya dari Universitas Indonesia yang juga sudah dipanggil sang Khalik.

Sebagai Dosen Hukum pidana di FH Unsri, saya bukan mahasiswa langsung Pak Mus, namun saya yang berlatar pendidikan di Fisip banyak mendapat ilmu tentang hukum pers dari putra terbaik Sumsel tersebut yang mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia berupa Bintang Mahaputera Utama.

Tahun 2004 kami pernah berdiskusi cukup lama tentang kasus pidana pers. Waktu itu Pak Mus ditunjuk sebagai saksi ahli dalam perkara pidana Harian Rakyat Merdeka yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saya lupa persis tentang perkara yang menimpa Harian Rakyat Merdeka tersebut. Kami berdiskusi tentang pilihan judul berita, bahasa jurnalistik, tentang keterbatasan kolom dan halaman koran juga tentang ancaman delik pidana pers yang menimpa wartawan.

Jauh sebelumnya, saya mengikuti ceramah Pak Mus tentang hukum pers pertama kali pada tahun 1994. Saat itu pada workshop bagi wartawan di Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel) yang diadakan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sumbagsel – belum Polda Sumsel – Workshop berlangsung di komplek PT Pusri. Saat itu dari Pusri kembali ke rumah di Bukit Lama saya ikut menumpang di mobilnya.

Masih pada tahun 2004, saya dan Pak Mus pernah berada pada satu tim yaitu Panitia Seleksi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Berdasarkan surat keputusan Gubernur Sumsel waktu itu Syahrial Oesman, Prof Mustafa Abdullah ditunjuk sebagai Ketua Panitia Seleksi KPI Provinsi Sumsel.

Dalam rapat panitia seleksi Pak Mus menegaskan tentang fairness dalam dalam melakukan seleksi. Dia menegaskan, dalam melakukan seleksi tidak boleh ada calon titipan, semuanya harus berdasarkan hasil penilaian. Dan saya mendukung sikap tersebut seraya mengingatkan, jika ada calon titipan dalam kapasitas sebagai jurnalis saya menyampaikan ke publik.

Seleksi yang kami lakukan merupakan seleksi periode pertama KPI Provinsi Sumsel. Alhamdulillah seleksi berjalan lancar tanpa ada protes atau sampai gugatan ke pengadilan. Seleksi yang berlangsung fair dan obyektif ternyata memang menghasilkan susunan KPI Provinsi Sumsel yang terbaik saat itu karena yang terpilih memang mereka yang paham dan mengerti tentang dunia penyiaran.

Ketua pertama KPI Provinsi Sumsel waktu itu terpilih Isnawijayanti (sekarang guru besar dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma) yang meraih skor tertinggi hasil fit and proper test DPRD Sumsel.

Pilihan Mustafa Abdullah untuk menjadikan hukum pers sebagai keahliannya terlihat dari disertasi saat mengambil strata doktor di Universitas Indonesia (UI). Disertasinya berjudul “Beberapa Permasalahan Pertanggungjawaban Pidana Pers : Suatu Telaah Menurut Hukum Positif Indonesia.”  Disertasi tersebut dipertahankan di depan penguji pada tahun 1992.  Penulisan disertasi tersebut dibimbing pakar hukum Prof Dr Muladi SH dan Prof Dr Loebby Loqman.

Kemudiaan saat dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Hukum Unsri pada 24 Februari 1998 Mustafa Abdullah juga menyampaikan pidato pengukuhannya juga tentang hukum pers.

Bagi wartawan pasca reformasi atau era milenial saat, jika ditanya siapa pakar hukum pers yang anda ketahui? Saya yakin 99 persen dari mereka tidak bisa menjawabnya, karena wartawan atau jurnalis era milenial lebih disibukkan pada urusan 5 W + 1 H dengan sense of journalism-nya yang yang mulai tumpul. Atau banyak yang terjebak pada journalism copy paste dan lebih rajin menyalin rilis atau siaran pers menjadi berita sendiri.

Bagi Mustafa Abdullah berinteraksi dengan dunia pers khususnya pada wartawan atau jurnalis di Palembang. Dalam biografinya berjudul “Hidup Panta Rei Pengabdian Anak Desa dari Akademisi Menjadi Anggota Komisi Yudisial”  Mustafa Abdullah menyebutkan, “Sebenarnya, kehidupan pers bukanlah sesuatu yang asing buat saya. Dalam kehidupan sehari-hari mengajar di Universitas Sriwijaya saya sering terlibat diskusi dengan pengurus wartawan di Palembang.”

Menurutnya, minatnya terhadap pers sudah lama. “Tentu saja ketertarikan itu diselaraskan dengan latar belakang keilmuan saya di bidang pidana,” kata Mustafa Abdullah yang lahir di Jambi, 20 Oktober 1940.

Dalam disertasinya Mustafa Abdullah menuliskan, saya melihat sistem pertanggungjawaban pidana pers berbeda. Jika terjadi delik pers belum tentu si penulis yang harus bertanggungjawab menurut hukum. Padahal delik pers adalah delik yang biasa.

“Inilah yang mendorong saya melakukan penelitian tentang pers ketika mengambil jenjang doktor di Universitas Indonesia,” kata Mustafa Abdullah dalam biografi yang ditulis Muhammad Yasin mantan wartawan majalah Forum Keadilan.

Pada pidatonya pada pengukuhan sebagai gurur besar Ilmu Hukum Unsri, Mustafa Abdullah menyatakan bahwa kemajemukan sistem pers di dunia menunjukkan adanya perbedaan sejarah, budaya dan sistem hukum masing-masing negara.

Meskipun ada kemajemukan sistem, pekerjaan pers adalah pekerjaan yang unik. Karena merupakan hasil kerjasama banyak orang. Dalam disertasinya Mustafa Abdullah menggunakan pandangan Fernand Terrou dan Lucien Solal dalam buku “Legislation for Press, Film and Radio” sebagai pisau analisis.

Menurutnya, sebelum koram dikirimkan kepada pelanggan, ada proses panjang yang harus dilalui. Sebelum berita naik cetak atau ditampilkan, ada sejumlah pihak yang terlibat, mulai dari wartawan di lapangan, editor, pemimpin redaksi hingga perusahaan percetakan media cetak. Di media televisi, selain awak redaksi ada orang yang mengoperasikan kamera. Di media online juga ada orang-orang yang secara khusus mengurusi teknologi informasi. Karena itu, menjadi persoalan yang rumit dalam dunia pers untuk menentukan siapa yang bertanggungjawab jika terjadi delik pers?

“Rumitnya masalah sistim pertanggungjawaban ini bukan hanya terjadi ketika saya menulis disertasi, tetapi juga hingga sekarang. Banyak kasus pers yang masuk ke pengadilan dan menimbulkan perdebatan apakah UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan lex specialis  terhadap KUH Pidana atau tidak? Pandangan hakim tidak seragam menanggapi persoalan ini,” kata Mustafa Abdullah yang menjadi anggota Komisi Yudisial (KY) masa bakti 2005 – 2010.

Pada masa Orde baru sampai reformasi, Indonesia telah memiliki UU Pers yaitu UU No11 Tahun 1966  kemudian diubah dengan UU No.Tahun 1967. Kemudian lahir UU No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. “Sayangnya peraturan perundang-undangan kita ini tidak memberikan pengertian yang jelas tentang delik pers,” ujar Mustafa Abdullah.

Terhadap UU No.21 Tahun 1982 Mustafa Abdullah menyoroti tentang adanya ketentuan Surat Izin Usaha Penerbeitan Pers (SIUPP). Kemudian Menteri Penerangan saat itu menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No.1 Tahun 1984 yang mengatur pers. Intinya, SIUPP dapat dicabut jika perusahaan penerbit pers melanggar ketentuan perundangan-undangan atau melakukan tindakan tanpa persetujuan Menteri Penerangan.

Dalam disertasinya Mustafa Abdullah mempertanyakan, SIUPP dalam UU No.21 Tahun 1982 terkandung juga SIT (Surat Izin Terbit)? Apakah jika SIUPP suatu perusahaan dicabut, maka otomatis izin terbit medianya juga dicabut?

Pasca hasil penelitian disertasi tersebut diuji, pada 21 Juni 1994  Pemerintah Orde Baru mencabut SIUPP tia media, yaitu Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Editor. Tiga media tersebut dilarang terbit.

Dalam biografinya Mustafa Abdullah menulis, “Saya tahu betul apa yang saya kemukakan sangat sensitif kala itu karena cengkraman pemerintah terhadap pers sangat kuat. Apa yang saya sampaikan didasarkan pada analisis argumentasi ilmiah. Saya malah berbangga hati bisa mengungkapkan kebenaran meskipun bagi sebagian orang pandangan itu mungkin menohok.”

Selamat jalan pakar hukum pers Prof Dr Mustafa Abdullah SH. Kami komunitas pers di Sumatera Selatan bangga karena kau pernah ada di tengah kami. ∎

Oleh : Maspril Aries

Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com